ExcelLency #03

3K 272 5
                                    

"Sekarang aku juga berharap begitu, Mas." Lency membuang tatapannya ke arah lain. Ia masih bisa tersenyum di saat air mata yang tak berhenti mengalir.

"Sekarang aku juga berharap kalau anak yang aku kandung ini bukan anak kamu!"

Lency menatapnya sarat kekecewaan. "Aku gak tau gimana sakitnya Dia kalau sampai tahu bahwa Ayahnya sendiri mengingkarinya sebagai anak."

Masih terekam jelas sorot mata kecewa yang jika ia ingat akan menghantam keras dadanya. Excel tidak benar-benar tenang. Saat-saat bersama Maura pun pikirannya selalu berpusat kepada wanita yang akhir-akhir ini selalu menghindarinya. Lency sudah jarang terlihat di matanya. Wanita itu lebih banyak menghabiskan waktu berdiam diri di kamar atau ia akan pergi keluar entah ke mana.

Excel selalu penasaran ke mana wanita itu pergi, namun lagi-lagi ego menahannya. Ia harusnya tidak perlu peduli ke mana wanita itu pergi. Lagipula, ia rasa, itu semua bukan urusannya.

"Kita sudah sampai, Pak..."

Laporan seorang sopir di depannya membuat Excel mengalihkan perhatian ke luar jendela. Ia menghela napas, ternyata ia sudah berada di depan kantornya.

Pria itu keluar setelah salah satu staff yang berjaga di sana membukakan pintu mobil untuknya. Setelah beberapa minggu menjalani pemulihan, ia kembali menginjakkan kaki di kantor. Semuanya terasa asing. Semua staff terlihat hormat kepadanya, namun bukan itu yang menjadi perhatian penuhnya melainkan tatapannya kini jatuh pada bangunan di seberang kantornya berada.

Kening Excel berkerut samar. Kepalanya mulai terasa pening. "Caffee itu kapan ada di sana?"

"Sama seperti candi Prambanan, Caffee itu tiba-tiba aja ada di sana."

"Apa?"

"Tiga tahun yang lalu kalau anda lupa." Pria itu kini tersenyum ketika Excel beralih menatapnya. Ia telah ikut serta menyambut kedatangan Excel dan bahkan sampai membukakan pintu mobil, namun rupanya Excel baru menyadari kehadirannya.

"Ternyata kamu beneran amnesia. Padahal, Caffee itu sejarahnya indah. Tempat yang menjadi saksi di mana cinta dua orang bersemi," kata pria itu lagi disertai dengan nada menyindir.

Excel terdiam sejenak. Kedua alisnya terangkat kala mulai mengenali pria di sampingnya itu.

"Malin, ngapain kamu di sini?" Excel menatap pria itu jengkel. Setahunya, pria itu memiliki kesibukannya sendiri yaitu menjadi salah satu karyawan di kantor yang jauh di luar kota sana. Mengapa ia bisa berada di sini sekarang?

Wajah Malin juga jauh berbeda. Excel nyaris tidak mengenalinya. Wajah pria yang dulunya terlihat muda kini terlihat lebih matang dengan bulu-bulu halus yang berada di sekitaran rahangnya.

Pria yang dipanggil Malin atau biasa diplesetkan menjadi Maling Kandang itu terkekeh. "Tiga tahun yang lalu ada yang ngangkat aku jadi sekretaris direktur di perusahaan ini. Demi hidup dengan masa depan cerah dan sejahtera, aku akhirnya setuju."

Excel mendengus. Ia berlalu masuk ke dalam kantor menuju ruangannya berada. Semua terasa aneh baginya. Terakhir kali sebelum ia mengalami kecelakaan ia masih ingat dengan jelas bahwa saat itu masih di akhir tahun 2016, namun saat bangun dari koma, ia telah melewati proses yang begitu panjang. Ternyata tahun telah berganti. Tahun 2021 tiba-tiba telah menyambutnya. Setelah ia telusuri lebih dalam, ternyata Indonesia tidak banyak berubah bahkan Presidennya pun masih sama dan hanya wakil Presiden yang berbeda. Kemajuan teknologi juga semakin pesat, merek handphone telah beranekaragam dan berbagai macam spesifikasi. Handphone yang seingatnya hanya memiliki satu kamera di belakang, kini telah bertambah menjadi tiga, empat, atau bahkan lima.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang