ExcelLency #01

5.5K 282 10
                                    

Tiga bulan: lima hari: enam jam: sebelas menit: tiga puluh delapan detik

Pria itu terbaring di ranjang pesakitan. Kecelakan beruntun yang terjadi membuatnya harus bertaruh nyawa untuk memilih hidup atau mati. Alat-alat penunjang kehidupan itu terus menempel apik pada tubuhnya. Hanya Sang Maha Kuasa yang dapat mengembalikan semuanya pada sedia kala.

Lency termenung. Tiada hari tanpa kehadirannya di ruangan tersebut. Wanita yang kini mengenakan drees panjang semata kaki itu menunduk, mengusap pelan perutnya. Bibirnya tertarik membentuk senyum simetris.

"Papa pasti sadar. Kita harus semangat, ya." ucapnya dalam keheningan.

"Mas, kamu harus bertahan. Aku punya kejutan untuk kamu. Kamu pasti terkejut. Cepat bangun, dong. Jangan jadi pangeran tidur. Kamu harus diapain sih biar bangun? Aku sudah cium kamu setiap hari, emangnya nggak cukup? Mas, aku kangen."

"Aku sering mual-mual sekarang. Aku pengen lihat kamu pakai daster sambil nyanyi-nyanyi. Mas, banguuunnnn..." Lency merengek dengan nada manja.

Percuma. Setiap hari ia seperti itu, tetapi tidak membuahkan hasil. Suaminya itu senang sekali tertidur. Padahal sudah tiga bulan lamanya. Apakah tidak lelah?

Lency saja yang baru berbaring beberapa menit sudah gelisah, hadap sana hadap sini, gerak sana gerak sini, ditambah lagi akhir-akhir ini dirinya sering menginginkan sesuatu, tetapi tidak pernah kesampaian. Malang sekali nasibnya. Pokoknya, setelah nanti suaminya bangun, ia akan menyuruh suaminya untuk menuruti semua keinginannya. Semuanya harus terbayarkan. Maka dari itu suaminya tidak boleh pergi.

"Mas, aku tunggu kamu. Pokoknya kamu harus bayar semua hal di saat kamu lagi tidur. Semakin lama kamu tidur, semakin banyak juga utang yang harus kamu bayar. Pakai bunga! Bunganya besar loh, Mas. Makanya cepat bangun!"

Lency menggenggam tangan pria itu dengan mata berkaca-kaca. Hancur sekali rasanya melihat orang yang dicintai tak sadarkan diri.

"Lency...."

Lency menoleh ke sumber suara. Nampak wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu sedang membawa bungkusan di tangannya. Wanita itu melangkah masuk, memberikan senyum hangatnya kepada sang menantu.

"Mama bawain kamu makan malam."

Mata Lency langsung berbinar cerah. Makanan? Wah, kesukaannya sekali ini. Makan adalah hobinya akhir-akhir ini. Berat badannya naik drastis. Mungkin, jika Excel bangun nanti pasti akan terkejut melihat istrinya yang menyerupai Sumo.

"Gak usah repot-repot, tapi Lency suka. Hehe..."

Nira terkekeh lalu beralih menatap sedih ke arah putra satu-satunya yang kini terbaring lemah.

"Mama nggak makan?" tanya Lency yang kini membuka bungkusan di hadapannya. Nasi padang itu membuat perutnya langsung berbunyi, disertai dengan mata berkaca-kaca. Terharu. Mertuanya begitu tahu makanan kesukaannya.

"Sudah. Kamu makan aja," jawab Nira sembari mengusap lembut puncak kepala menantunya.

"Mama bawa dua bungkus. Satunya untuk siapa?"

"Semuanya untuk kamu. Makan yang kenyang, supaya cucu Mama juga kenyang."

Pecah sudah. Airmata akhirnya keluar. Lency makan dalam keadaan menangis. Terharu sekali karena malam ini ia bisa makan dua bungkus nasi padang.

"Loh, kok, nangis?" Nira menatap Lency. Wanita itu mulai panik.

Lency menggeleng. "Gak apa-apa, Ma. Lency cuma bahagia akhirnya bisa makan nasi padang. Selama tiga bulan ini, Mas Excel nggak pernah mau beliin Lency nasi padang, kerjaannya tidur mulu. Pokoknya, nanti pas Mas Excel bangun harus beliin Lency nasi padang yang banyak. Kalau perlu sama pembuat nasi padangnya sekalian."

Short StoriesTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon