Silent_04

5.9K 408 5
                                    

Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah, maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَانْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ. 

"Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar."

Fatwa Dr. Soleh al-Fauzan.

Beliau pernah ditanya, bolehkah menolak pinangan lelaki soleh karena tidak cinta?

Jawaban beliau,

إذا كنت لا ترغبين الزواج من شخص؛ فلا إثم عليك، ولو كان صالحًا؛ لأن الزواج مبناه على اختيار الزوج الصالح مع الارتياح النفسي إليه ؛ إلا إذا كنت تكرهينه من أجل دينه؛ فإنك تأثمين في ذلك من ناحية كراهة المؤمن، والمؤمن تجب محبته لله ، ولكن لا يلزمك مع محبتك له دينًا أن تتزوجي منه مادمت لا تميلين إليه نفسيًا . والله أعلم

Menolak menikah dengan seseorang, tidak berdosa. Meskipun dia orang soleh karena menikah prinsipnya adalah memilih pasangan yang soleh dan adanya rasa cinta dari hati. Kecuali jika anda tidak suka dengannnya karena agamanya. Maka anda berdosa dalam hal ini karena anda membenci orang mukmin. Sementara orang mukmin wajib dicintai karena Allah. Akan tetapi, anda tidak harus menikah dengannya, selama anda tidak ada rasa cinta. Allahu a'lam

(al-Muntaqa min Fatawa Dr. Sholeh al-Fauzan, 3/226)

Entah mengapa, sejak kedatangan Fatih ke rumah seminggu yang lalu berhasil mengambil alih atensi pikiranku. Aku merasa telah berdosa menolaknya.

Fatih lelaki soleh, baik, dan sopan. Ketika lelaki itu selalu bersikap cuek dan dingin kepadaku sebenarnya adalah hal yang wajar. Memang tidak sepantasnya lelaki itu beramah tamah kepadaku. Mungkin, dengan bersikap seperti itu merupakan pertahanan yang dilakukan Fatih untuk membentengi diri dari sebuah fitnah yang bernama wanita, termasuk diriku.

Tidak sepantasnya aku menolak dirinya hanya karena aku tidak menyukai sifat dingin dan irit bicaranya. Fatih lelaki yang tampan, juga sholeh, rasa-rasanya tidak mungkin aku kesulitan untuk jatuh hati padanya. Bukankah ada Allah sang maha pembolak-balik hati?

"Shirin...." 

Aku menoleh ke arah pintu ruanganku yang telah terbuka. 

"Aku sudah dari tadi berdiri di sini. Kamu lagi ngelamunin apa?" 

"Bukan apa-apa."

Aku tidak tahu entah sudah berapa lama Arvin berdiri di sana. Aku sama sekali tidak menyadarinya. Sahabatku sejak kecil itu semakin sering mengunjungiku. Kangen, katanya. Aku tidak lagi ingin memupuk harapan kepada lelaki itu yang kemungkinan akan menjadi hak milik seseorang.

"Kamu kenapa nggak pernah cerita?" Arvin melangkah mendekatiku. Mata laki-laki itu menyorot datar ke arahku.

"Cerita apa?" 

"Kamu dilamar, 'kan? Kenapa nggak cerita?" 

Aku paham sekarang. "Aku nolak Fatih, Vin."

"Kenapa ditolak?"

Aku memilih menunduk. Tidak mungkin aku mengatakan alasannya. Alasan kuatnya mengapa aku menolak Fatih bukanlah karena sifat lelaki itu, tetapi lebih kepada perasaanku yang tak kunjung sirna untuk lelaki di hadapanku ini. Aku juga tidak mungkin menerima Fatih hanya dijadikan pelarian dalam usaha untuk melupakan Arvin. 

"Aku juga nggak tau kenapa nolak dia. Harusnya aku pikir-pikir dulu sebelum memutuskan." Aku menatap keluar jendela. Menatap Cafe dari luar jendela yang banyak sekali pengunjung, entah mataku yang tidak normal atau bagaimana, aku seperti melihat Fatih di sana yang juga sedang menatapku. 

"Kamu nyesel, ya, nolak dia?"

Aku menghela napas. Tidak menyesal, hanya saja ada rasa aneh yang terus-menerus memenuhi hatiku saat ini

Sepertinya laki-laki di seberang sana memang benar Fatih. Meskipun jarak Cafe dari ruanganku sekarang berada tidak dapat dikatakan dekat, tapi mataku belum serabun itu untuk tidak dapat mengenali lelaki yang sekarang sedang tersenyum itu. 

"Rin, aku-"

"Oiya, katanya minggu ini kamu mau ngelamar Maryam? Kapan? Atau jangan-jangan kamu sudah datang ngelamar dia?" Sekarang aku mengalihkan tatapanku ke arah Arvin. Sangat tidak nyaman menatap lelaki di luar sana. Entah mengapa, perasaan ini, selalu merasakan ketidaknyamanan setelah menolak lelaki itu atau hanya sekedar rasa tidak enak hati karena telah menolaknya. Entahlah, aku benar-benar tidak mengerti.

"Memangnya aku ada bilang mau melamar Maryam minggu ini?" Arvin menatapku dengan senyum miring yang tercetak jelas di bibirnya.

Aku mengeryit. Bukannya dia sendiri, ya, yang bilang waktu itu saat aku tanya kapan akan mengkhitbah Maryam? Aku tidak salah, 'kan? 

"Jadi, kapan mau dilamar anak orang? Dikasih harapan dan digantungin itu nggak enak, Vin."

Aku menatap ponselku yang bergetar di atas meja. Ada pesan masuk.

+6285756xxxx
Assalamu'alaikum, Shirin.
Apakah kita bisa bertemu sebentar di Cafe seberang butikmu? Ada yang ingin saya bicarakan.

Kemudian, satu pesan lain menyusul.

Kita tidak hanya berdua. Saya sedang bersama Tante saya saat ini.

Aku menatap lama pesan tersebut lalu kembali menatap ke luar jendela. Apakah laki-laki itu yang menungguku di Cafe?

"Vin, aku mau ke Ca-"

"Aku nggak jadi ngelamar Maryam. Aku baru sadar, ternyata aku nggak cinta Maryam, Rin." Tatapan Arvin berhasil membuat tubuhku melemah.

Jadi, Arvin tidak mencintai Maryam? Mendengar fakta ini dari mulut lelaki yang dulu mengatakan bahwa ia mencintai Maryam, rasanya aku terlalu polos jika mempercayainya. 

-tbc-

Insyaa Allah satu part lagi tamat.
Terima kasih yang sudah baca, vote, dan komen...

-Utamakan Membaca Al-Qur'an-

Short StoriesWhere stories live. Discover now