33. Undangan (END)

Începe de la început
                                    

"Ya ... Gimana? Apa perlu kita pindah?" tanya Al menawarkan. Enza mendesah.

"Gak usah, ayo masuk. Begini nih kalo cewek kekurangan asupan cogan. Emang orang Jerman kagak ada yang cakep apa?"

"Ya ada sih. Cuman, gue lebih suka aja sama modelan orang Indonesia. Bosen lihat rambut pirang sama kulit putih terus. Kagak ada yang sawo mateng!"

"Namanya juga orang Eropa."

"Iya juga sih. Eh, lo mau pesan apa? Biar gue traktir sebagai hadiah penyambutan gue."

"Gak usah, gue aja. Yang pulang kan elo. Bukan gue. Jadi, gue aja yang bayar, oke?" Enza menoleh ke kanan dan ke kiri. Mengangkat tangan kanannya memanggil seorang pelayan.

"Teh, saya pesen-"

Brak

"Teh-teh, A'a-nya yang biasanya jadi pelayan ke mana? Kok perempuan semua," ucap Al unfaedah. Enza menepuk kening. Mendorong Al duduk dan kembali menatap sang pelayan.

"Maaf ya, Teh. Sahabat saya emang kadang suka radak-radak gimana gitu. Jadi, maklum ya, Teh."

"Eh, enak aja ya, lo! Maki-maki gue!" teriak Al sembari menunjuk Enza. Enza menatap tajam Al. Meletakkan telunjuknya di depan mulut. Menyuruhnya untuk diam.

"Sstt ... Diam. Dilihatin orang tahu gak?!" bisik Enza sembari menatap sekeliling kafe.

Al mengikuti arah mata Enza dan seketika nyalinya menciut melihat seluruh pengunjung kafe tengah menatap meja mereka. Al tersenyum tipis dan buru-buru ia mengambil iPhone miliknya. Pura-pura fokus bermain iPhone. Enza menggelengkan kepalanya. Dasar, Al! Walaupun sudah tidak bertemu selama setahun. Masih saja somplaknya tidak hilang. Seakan-akan, memang sudah menjadi jati diri Al.

"Saya pesan 2 lasagna dan jus alpukatnya 2 ya, Teh."

"Baik, Teh. Selamat menunggu." Sang pelayan pun beranjak pergi dari meja keduanya. Enza menghela napas dan melirik ke arah Al yang kini tengah mengintip keadaan sekitarnya. Ia pun kembali meletakkan iPhonenya di atas meja.

"Oi, Nza," panggil Al kepada Enza yang kini sibuk membuka pesan WhatsApp miliknya. Al mengambil alih iPhone Enza dan melihat penampilannya.

"Widih, keren bener lo. Beli iPhone biasanya kan lo pake android. Gara-gara lo males beli dan bilang kalo itu bakalan boros duit. Tumben-tumben aja lo beli beginian. Apalagi limited edition. Widih," ucap Al sembari mengangkat iPhone Enza.

"Oh, atau jangan-jangan Freinz ya yang beliin elo? So sweet banget .... Semoga pacaran lo langgeng, ya," celetuk Alya sembari menyunggingkan senyum tulus. Enza menggelengkan kepala sembari tersenyum. Senyuman terpaksa.

"Why? Apakah ada masalah?" tanya Al menurunkan air mukanya.

"Dia ... Udah punya cewek. Kata resepsionisnya, dia pergi dari Kota Bandung. Dan entah kemana dia pergi. Mungkin, dia pergi ke Jerman dan hidup bahagia bersama keluarga barunya." Al memasang wajah sendu. Bangkit berdiri dari kursi dan memeluk Enza. Mengelus-elus lembut kepala Enza.

"Tapi, lo masih suka sama dia?"

"Bukan cuman suka. Tapi, cinta. Gue cinta mati sama dia, Al. Tapi, apa yang gue dapetin dari cinta pertama gue? Rasa sakit!" Enza menitikkan air mata. Menghapusnya dengan jari jemarinya dan mendongak. Menahan agar tangisnya tidak kembali meluruh.

Tak lama kemudian, pesanan mereka pun datang. Segera saja Al mengambil piring milik Enza dan mulai menyuapkannya.

"Buka mulut!" perintah Al sembari mendekatkan sesendok lasagna. Enza menggeleng dan meraih jus alpukat. Belum sempat tangannya meraih, Al sudah lebih dulu mengambilnya dan menjauhkannya.

Secangkir Kehangatan (END)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum