11. Gemeletuk

26 4 0
                                    

Mobil Freinz berhenti tepat di sebuah tempat rekreasi keluarga. Ya, ternyata Freinz masih kurang puas akan liburan mereka hari ini. Sehingga ia kembali mengajak kedua sosok tersebut untuk berlibur bersama. Tentunya tanpa sepengetahuan keduanya. Buktinya, Enza telah lebih dulu melayangkan tatapan tajam ke arah Freinz bersamaan dengan sebuah geraman.

"Lo gak capek apa seharian jalan-jalan di peternakan? Sampe-sampe lo ngajak kita ke sini. Gak lihat apa kalo Thel udah tidur pules habis minum susu?" Freinz menoleh. Menundukkan kepala dan menatap dalam Thel yang tengah tertidur pulas memeluk tubuh Enza. Disertai dengan jempol yang terhisap di mulut mungilnya. Dalam hati, Freinz tersenyum senang. Menatap puas sang buah hati.

"Udah, nikmati saja!" ketus Freinz membuat Enza geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir akan jawaban pria di sampingnya.

"Jadi, lo mau bangunin Thel? Apa lo tega?" cerca Enza sembari mengelus lembut surai hitam Thel. Freinz bergeming. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Enza.

Tangannya pun terulur ke arah kepala Thel. Mengelusnya lembut dan mendekatkan wajahnya ke sana. Memberikan kecupan hangat yang otomatis membuat sang empu membuka mata. Yah, anggap saja kalau ini adalah sulap. Hanya dengan sentuhan tulus dan kasih sayang yang mampu membangunkan sosok terkasih.

Thel menguap yang membuat Enza otomatis menutup mulutnya. Memblokir akses masuk setan ke dalam tubuh Thel. Thel mengerjap-ngerjapkan matanya dan menegakkan tubuh. Duduk terpangku dengan wajah kebingungan.

"Hey, Son. How is your dream? It is good or bad?" tanya Freinz fasih berbahasa Inggris. Enza terdiam. Tak bisa menjawab dan tak mengerti apa yang diucapkan ayah batita tersebut.

Sedangkan Thel justru tersenyum dan mengangguk senang.

"Thel have good dream, Dadda. Dadda don't worry, Thel. Thel is fine."

"In that case, thank's Allah." Enza memberengut kesal. Merasa menjadi sosok terkacangi setelah pembicaraan mereka yang tak berujung.

"Dadda, bisakah kau menggunakan bahasa indonesia saja?" sindir Enza sarkas. Freinz mengerutkan kening.

"Why?"

"Karena Mommanya gak pandai bahasa inggris, Pintar!" gemas Enza sembari menggertakkan gigi-giginya. Freinz tertawa dalam hati dan menggeleng.

"However, I just wanted to teach him the language of his native land," tenang Freinz dengan wajah damai. Enza berdecak kesal dan terus menghujani Freinz dengan tatapan membunuh.

"Serah! Kapan kita masuk? Pasti Thel sudah gak sabar mau main. Iya kan, Son?" ucap Enza sengaja mengalihkan pembicaraan. Jika tidak dihentikan dari sekarang, maka siap-siap saja otaknya meledak! Memikirkan beragam kosakata yang terucap dari kedua lelaki itu.

"Kita mau masuk kemana?" polos Thel sembari menggerakkan kepalanya ke sana kemari. Mencari jawaban dari segala pertanyaan yang sudah menumpuk di pikiran.

"Kita ada di Trans Studio, Thel. Thel mau main?" tawar Freinz sembari menunjuk sebuah papan reklame bertuliskan Trans Studio Bandung.

Sontak, Thel bangkit berdiri sembari bertepuk tangan girang. Ini pertama kali dalam hidup Thel bermain ke tempat rekreasi seperti Trans Studio Bandung ataupun sejenisnya. Yang selama ini ia tahu hanyalah taman, apartemen, rumah granpa-grandmanya dan juga kamarnya saja. Ia tak pernah sekalipun diajak keluar oleh kedua kakek-neneknya atau bahkan Freinz. Mengingat baru-baru ini ia baru bisa tinggal bersama Freinz. Jadi, selama itulah ia tak pernah kemari.

"Kalo begitu, Thel pake sepatu dulu. Baru nanti boleh main keluar," titah Enza sembari merogoh sepasang sepatu mini dari jok belakang mobil.

Freinz pun membantunya. Mengambil sepatu milik Thel dan hendak memakaikannya ke arah Thel. Seakan paham akan kode Freinz, Enza segera memangku kembali tubuh Thel seiring Freinz menerima kaki kanan Thel. Membuka perekat sepatu dan memasukkan satu persatu kaki kecil Thel.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now