9. Jalan

54 7 2
                                    

Jadi, ini namanya keluarga. Keluarga yang selalu memberikan kehangatan di setiap waktu dan hari-hari kita. Kenapa aku baru bisa merasakannya sekarang? Astagfirullah, sekejam itu kah diriku? Sungguh, hamba merasa menyesal dan merasa bersalah. Dan oleh karena itu, Hamba mohon ampunan-Mu Ya Rabb

☕☕☕


Sesuai perjanjian mereka, Enza cuti dari pekerjaannya. Pastinya, setelah membujuk Quinza setelah berjam-jam lamanya.

"Please ya, Kak. Besok Enza libur."

"Tapi Enza, jika kamu libur, siapa yang akan menggantikanmu? Yang benar saja."

"Ayolah, Kak. Hanya untuk besok ... Aja. Selebihnya, Enza akan tetap bekerja kok," mohon Enza dengan mata memelas. Quinza menghela napas sabar dan akhirnya mengangguk.

"Ya udah, kamu boleh libur," putus Quinza membuat Enza bersorak gembira.

"Yey, terima masih Kakakku sayang." Enza menerjang tubuh ramping Quinza dan memeluknya sangat erat. Membuat Quinza kesulitan bernapas.

"Astagfirullah Enza, kakak gak bisa napas nih," ucap Quinza dengan napas yang agak sesak. Enza tersadar dan melonggarkan pelukan mereka. Menatap Quinza dengan tatapan khawatir.

"Maafin Enza Kak," sesal Enza sembari menunduk. Quinza mengulas senyum dan mengelus kepala Enza.

"Tidak apa, Kakak baik-baik saja." Enza mendongak dan tersenyum lebar.

"Btw, Enza mau kemana? Tumben minta izin malam-malam. Biasanya juga langsung kabur sama Al pas di kafe," jujur Quinza mengingat tingkah aneh kedua remaja itu. Enza kembali tersenyum sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ehehe ... Ada something important, Kak," cengir Enza. Quinza menaikkan alis meminta jawaban lebih.

"Ya ada. Kalo gitu, Enza tidur dulu. Selamat tidur Kakak sayangku."

Tanpa menunggu jawaban sang kakak, Enza bergegas membuka pintu kamar Quinza dan lari terbirit-birit menuju kamarnya. Meninggalkan Quinza dengan sejuta tanyanya.

Enza mematut diri di depan cermin. Memerhatikan tampilan dirinya yang begitu seksi. Menampilkan paha indah dan kaki jenjang yang terbalut sepatu biru muda. Dengan wajah gembira, ia mengambil tas selempangan miliknya dan berjalan keluar menuju pintu rumah. Membuat Hasan menoleh dengan kaca mata bacanya.

"Ekhem, mau ke mana kamu?" introgasi Hasan ketika Enza hendak menarik pintu rumah.

Enza menoleh dan menyengir. Hasan pun memperdalam kerutan dahinya petanda ia sedang dilanda kebingungan. Kenapa tidak? Enza tampak tampil lebih menarik, cantik, dan seksi dibandingkan hari-harinya ketika bekerja ke kafe. Hasan berucap istigfar karena penampilan Enza tak kunjung berubah dengan pakaian mini nan seksi itu. Pasti, Enza akan selalu menjadi sorot perhatian dari para lelaki bermata keranjang di luaran sana.

Hasan hanya bisa berharap agar sang bungsu segera sadar dan kembali ke jalan yang lurus. Berpakaian selayaknya orang beriman. Namun, lagi-lagi itu hanyalah doa belaka. Karena Enza sendiri tak ada niatan untuk berubah. Ia hanya terus berpikir bagaimana caranya agar ia selalu tampil beda dari keluarga ustadz lainnya. Sungguh, Enza sudah keterlaluan!

"Kenapa diam saja? Kamu gak dengar ucapan Abi, iya?" kesal Hasan mengingat tak ada respon dari Enza. Terkecuali dengan diam membisu.

"Dengar, Bi." Enza menunduk.

"Kalo dengar, jawab ucapan, Abi!" perintah Hasan tegas. Enza yang mendengarnya pun menggigil takut, hingga akhirnya ia mendongak.

"Enza mau jalan-jalan, Bi. Emang salah?" geram Enza.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now