33. Undangan (END)

154 8 0
                                    

Setahun kemudian ....

Hari ini, Enza tengah menjemput seseorang yang selama ini ia tunggu dan sangat ia sayangi. Bahkan, sudah berhari-hari lamanya mereka saling berbalas pesan dan bertelepon. Tanpa sadar, hubungan mereka pun semakin dekat hingga sekarang. Dan secara tidak langsung, sosok tersebut memintanya untuk datang ke bandara dan menjemputnya.

Sesuai janjinya, Enza datang ke bandara dan terus menunggunya sembari mengayun-ayunkan kakinya senang. Senang menyambut kedatangan sosok tersayangnya itu. Sudah berbulan-bulan lamanya ia pergi dan tepat di tempat inilah ia mulai mengikhlaskan sosok tersebut untuk selamanya.

Yah, bagaimanapun, cinta ada untuk didapatkan dan juga dilepaskan. Dan cinta Enza ada untuk melepaskan demi menjalani kehidupan yang baru. Menunggu undangan resepsi pernikahan Freinz. Dan berharap hubungan mereka samawa hingga akhir hidup mereka, bersama Thel, anak mereka.

Meskipun rasa itu masih ada dan masih sama, selagi itu demi kebahagiaan Freinz, ia tak mengapa. Apapun pasti akan ia lakukan sekalipun hatinya akan berdenyut nyeri. Ia pun menyunggingkan senyum tipis. Segera saja ia bangkit dari kursinya setelah gerombolan penumpang mulai berjalan keluar dari pintu keberangkatan. Enza menyipitkan mata. Menelisik setiap pengunjung satu per satu sebelum akhirnya ia bersorak gembira menemukan sosok terkasihnya datang sembari membawa sebuah koper.

"Al!" pekik Enza sembari melambai-lambaikan tangannya bersemangat. Sosok dengan nama Aleisya Fevillya Darmawan atau biasa dipanggil dengan Al itu pun semakin mempercepat langkahnya dan langsung menyergap tubuh Enza.

"Aa ... I verry miss you. How are you?" tanya Al sembari terus memeluk Enza erat. Enza tersenyum sembari mengelus-elus punggung Al.

"I'm verry well," ucap Enza tenang. Al melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Enza.

"You lie! Lihat! Badan lo itu udah lidi Enza. Dan sekarang? Bukannya nambah, malah terus berkurang. Mau jadi apa lo nanti? Tisu? Debu? Pokoknya, lo ikut gue sekarang!" titah Al sembari menarik tangan Enza. Enza terhuyung dan pasrah mengikuti langkah bersemangat Al.

Yah, akhir-akhir ini nafsu makan Enza masih sama. Sama-sama buruknya yang artinya ia jarang sekali makan kalau saja uminya tidak mengajak ia turun ke lantai bawah dan menyuruhnya makan. Ataupun sang abi yang memaksa Enza makan dengan rentetan ancaman yang tiada habisnya. Salah satunya tidak boleh menjemput Al kalau saja ia tak makan sebelum berangkat menjemputnya. Mengesalkan sekali!

Enza pun membuka bagasi mobil. Memasukkan koper Al dan menutupnya. Berjalan menuju pintu kemudi yang kontan saja ditahan Al. Enza mengernyitkan kening sementara Al menunjuk sisi lain menggunakan kedua alisnya yang terangkat. Ia pun menghela napas menurut dan memberikan kunci kepada Al. Berjalan memutari mobil dan masuk ke dalam.

"Kita mau ke mana? Gue masih harus jaga kafe, ingat! Karena-"

"Karena kakak lo sekarang udah nikah dan tinggal di luar pulau gitu?" tebak Al sembari mengemudikan mobil. Enza mengangguk dan menatap lurus jalanan.

"Udahlah, santai aja. Toh, yang punya kafe kan elo. Jadi, no problem kan kalo ditinggal sebentar." Enza memutar kedua bola mata malas. Yah, pada akhirnya, ia tidak pernah menang debat dengan Al. Pasti, ujung-ujungnya ia akan kalah.

Al semakin menambah laju kecepatan mobil menuju sebuah tempat yang masih dirahasiakan oleh Al.

☕☕☕

"Lo masih belum move on dari pelayan kafe itu, ya?" tanya Enza manatap kafe yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan Kota Bandung sembari melirik Al. Al terkekeh dan menggaruk tengkuknya.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now