12. Cinta Sejati

32 5 0
                                    

Enza berjalan mondar-mandir tidak tentu arah di halaman rumah. Thel yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya menatap Enza aneh dengan tangan mungil memegang koper miliknya. Anggap saja Enza sedang merutuki kebodohannya. Menyetujui ucapan Freinz tanpa berpikir panjang. Selalu menganggap semuanya remeh tanpa tahu konsekuensi apa yang akan ia hadapi.

Yah, namanya juga nasi sudah menjadi bubur. Mau diulang pun juga tidak bisa. Karena kita bukanlah doraemon yang memiliki mesin waktu. Bagaimana pun, ia sudah menerima permintaan seseorang. Dan ia harus mempertanggungjawabkan. Tak peduli bagaimana reaksi orang-orang nanti. Yang terpenting, Thel bisa masuk dan hidup bahagia di sana. Ingat! Hanya satu hari saja Thel ada di sisinya. Selanjutnya, Thel akan bersama Freinz hingga waktu yang ditentukan.

Enza menghela napas. Berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya meraih tangan Thel dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Belum sempat tangan Enza menyentuh permukaan dingin pintu, seseorang telah lebih dulu membukanya dan menatapnya dengan wajah memerah.

"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu nanti di masa depan, hah? Kayak begini saja tidak bisa mengatur!" murka Hasan kepada sang bungsu. Membuat Thel ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Enza. Memeluk kedua kaki perempuan tersebut. Enza menghela napasnya sabar. Berusaha mencari kata yang tepat untuk ia ucapkan kepada sang abi.

"Abi, Enza masuk dulu, ya. Enza udah capek nih."

"Capek-capek! Kamu kira Abi dari tadi nungguin kamu gak capek apa? Udah malam begini, masih aja keluyuran. Trus, kamu udah sholat? Dimana tanggung jawabmu Enza? Kamu itu udah besar. Masih aja bolong-bolong salatnya. Dan itu, apalagi. Ada koper kecil di samping kamu. Punya siapa Enza punya siapa?" Hasan terengah-engah selepas mengucapkan banyak kata dalam sekali tarikan napas. Risa yang mendengar keributan dari luar pun segera bergegas menghampiri suaminya. Menatap risau Enza.

"Ya Allah, akhirnya kamu pulang juga. Sudah ditunggu dari tadi juga. Gak tahu apa abimu ini sangat khawatir sama kamu," ucap Riza sembari memeluk tubuh Enza. Tiba-tiba saja ekor matanya menangkap sepasang kaki mungil yang berada di belakang Enza. Risa pun berjongkok dan melihat ke belakang Enza.

Mata Risa membola ketika ia menemukan seorang batita tengah bersembunyi di balik tubuh Enza. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Siapakah anak ini? Apa mungkin dia anak Enza? Tapi, sepengetahuannya, ia tidak pernah melihat Enza hamil. Perut Enza selalu datar. Jadi, tidak mungkin kan Enza melakukan seks bebas di luaran sana? Dan lagi, wajah batita ini tidak mirip dengan Enza. Hanya sepersekian persen saja.

Dengan menguatkan hati dan membersihkan pikiran buruk, Riza pun menangkup tangan mungil itu. Menuntun batita dengan wajah pucat pasi itu keluar dari persembunyiannya. Sontak, Hasan yang melihatnya pun kembali murka. Apa-apaan ini? Mana mungkin Enza bisa memiliki seorang anak? Atau jangan-jangan ....

"Abi, diam! Jangan mulai marah lagi. Umi yakin Enza tidak melakukan hal senonoh seperti itu."

"Tapi, itu ada buktinya, Umi."

"Belum tentu apa yang dilihat Abi sama seperti yang Abi pikirkan. Pasti, Enza memiliki penjelasan sendiri tentang hal ini. Benarkan Enza?" Enza menganggukkan kepalanya membuat Hasan semakin dilanda kekalutan. Tak ingin menambah dosa semakin banyak, Hasan memilih untuk berlalu dari hadapan mereka dan duduk di ruang keluarga. Riza yang sedari tadi mengamati sang suami pun kini mengalihkan pandangannya ke arah Thel. Memberikan senyuman hangat kepadanya.

"Asalamualaikum, anak ganteng. Namanya siapa?" sapa Riza hangat sembari memegang kedua bahu Thel. Thel melirik takut ke arah Enza. Namun, Enza justru menyunggingkan senyum. Menyuruhnya untuk menjawab pertanyaan Riza.

"Thel," jawab Thel singkat.

"Subhanallah sekali namanya. Oh iya, Thel ke sini sama siapa?" Thel menoleh ke arah Enza dan menunjuknya.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now