25. Morning

22 4 0
                                    

Pintu tertutup. Enza pun mendorong kursi roda Adam kembali menuju kamar. Adam bersedekap di depan dada. Menunggu penjelasan Enza. Enza tampak menoleh ke sana kemari. Memastikan keadaan di sekitarnya aman. Sebelum akhirnya menutup pintu kamar sembari menundukkan kepala bersalah.

"Maafkan, Enza kakek. Enza bersalah."

"Kakek tahu kamu bersalah. Tapi, kenapa kamu harus membohongi kakek, hah? Dan jangan bilang kalo Quinza juga tidak menutup aurat sama sepertimu, hingga sekarang."

"Eh, nggak kok, Kek. Kak Quinza udah gak gitu lagi kok."

"Gak gitu lagi gimana?" Enza menghela napas. Berjalan mendekati Adam dan duduk bersimpuh sembari terus menundukkan kepala.

"Maaf, Kek. Selama ini, Enza dan Kak Quinza udah lama gak menutup aurat. Kecuali ke rumah kakek. Dan itu pun atas permintaan Abi. Sejak masuk SMA negeri. Kami melihat teman-teman kami yang memakai pakaian terbuka dan ingin mencoba berpakaian layaknya mereka. Tak terasa, waktu cepat berlalu hingga terbawa sampai kuliah. Dan saat itu juga, Abi sudah menegur kami dengan keras.

Hanya saja, kami tidak pernah mematuhinya dan terus terbujuk oleh bisikan setan. Tepat setelah Kak Quinza lulus kuliah. Abi membawa Kak Quinza ke pondok dan menyuruhnya untuk menetap di sana selama sebulan. Dan berkat rahmat Allah, Kak Quinza kini sudah istiqomah dan terus menutup aurat. Beda halnya dengan diriku. Jadi ...."

"Jadi? Kenapa kamu juga tidak ikut menutup auratmu, Enza?"

"Enza ... Belum siap." Enza memainkan kedua tangannya risau. Adam menghela napas dan mengacak-ngacak surai hitam Enza.

"Kalo begitu, Kakek hanya bisa mendoakan agar kamu segera mendapat hidayah dan bertobat. Merubah diri layaknya seorang muslimah yang diinginkan Allah azza wa jalla," doa Adam tulus. Sedangkan Enza terus terdiam. Dalam hati, ia ingin mengucapkan 'aamiin'. Hanya saja, ia merasa gengsi. Dan itu karena setan yang ada di dalam dirinya. Jadi, Enza hanya bisa menganggukkan kepala dan berdiri.

"Terima kasih, Kakek." Enza memeluk erat tubuh Adam dan bergegas keluar kamar. Adam hanya menggelengkan kepala dan mulai menjalankan kursi rodanya menuju ranjang.

"Kakek," panggil Enza tiba-tiba di balik celah-celah pintu. Adam tersentak dan sontak mengucapkan istigfar.

"Ehe ... Maaf, Kek," ucap Enza sembari menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Ada apa?" tanya Adam lembut.

"Um ... Enza cuman mau bilang, jangan lupa minum obat dan jaga kesehatan. Enza sayang Kakek."

Brak

Pintu tertutup. Membuat Adam terkekeh sembari menggeleng-gelengkan  kepala. Ada-ada saja sifat unik cucu bungsunya. Ya, ia hanya memiliki seorang putra. Yaitu, Hasan. Karena adik kembarnya Husein mengalami kelainan dan telah meninggal dunia ketika ia duduk di bangku SMP akhir. Menyisakan Hasan dengan luka batinnya. Luka yang muncul karena kehilangan adik tersayangnya.

Adam menghela napas. Merasa sedih tatkala kembali teringat akan kembaran putranya. Ia pun bangkit dari kursi roda dan duduk di ranjangnya. Kembali menyalakan murotal Al Quran kepemilikannya.

Ternyata, sifat seseorang bisa menurun kepada anaknya. Terbukti dengan dulunya ia yang sering berjudi, minum-minuman keras, dan berfoya-foya serta brandal tatkala sang abi— Sunan Agung sibuk dengan dakwahnya. Membuat ia kesepian dan tidak diperhatikan. Mengingat banyaknya saudara yang ia miliki.

Tentu, sang abi murka dan membawanya menuju pondok pesantren. Menyuruhnya untuk menetap dan tinggal di sana selama 5 tahun lamanya. Dan berkat itu pun, Adam berhasil menjadi seorang hafidz dan juga ulama. Berkat kecerdasaannya dalam menghafal Al Quran dan hadits. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Fatimah, almarhumah istrinya dan melahirkan Hasan-Husein.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now