2. Desir

90 18 29
                                    

Orang tua pasti akan memilih jalan yang terbaik untuk buah hatinya. Mereka tidak pernah ingin membuatnya bersedih atau sengsara akan keputusan mereka. Maka, penuhi saja permintaannya sebagai bentuk bakti kita kepadanya. Namun, tidak dengan keburukan dan keputusan yang melenceng dari jalan-Nya. Dan oleh karena itu, kita boleh menolaknya

☕☕☕

Sepulangnya dari kantor, Freinz merebahkan dirinya di atas ranjang. Memandangi langit-langit kamar apartemen tempat ia tinggal. Mengapa ia memilih tinggal di apartemen? Itu karena tak lain dan tak bukan ada sangkut pautnya dengan pekerjaan yang kini ia emban. Ya, jaraklah permasalahannya.

Jarak rumah yang jauh, membuatnya muak dan memilih untuk membeli sebuah apartemen mewah di dekat kantor. Menghindari kemacetan panjang yang bisa terjadi kapan saja dan juga rasa lelah yang tak tertahankan di sekujur tubuhnya jika ia harus melakukan perjalanan pulang menuju rumahnya.

Bisa dibilang waktu yang ditempuh dalam perjalanan antara rumahnya dengan kantor adalah empat puluh lima menit. Dan itu sangat membuang-buang waktu berharganya. Mengingat waktu yang ia tempuh belum termasuk dengan kemacetan jalanan Bandung yang selalu ramai dan padat merayap. Dan itulah yang mendorong dirinya untuk membulatkan keputusan mengenai membeli apartemen. Tentunya dengan harga tak tanggung-tanggung dalam membelinya.

Kini, ia hanya membutuh waktu sepuluh menit untuk menempuh perjalanan dan menutupi kemungkinan pemberosan waktu yang ia miliki. Ia melangkah turun dari ranjangnya, menapaki langkah menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Sebelum akhirnya ia merebahkan diriya lagi dan terlelap masuk ke alam mimpi.

☕☕☕

Freinz terbangun dari tidurnya. Ia pun duduk di ranjang dan memeriksa ponselnya. Menemukan berbagai macam file yang berisi data penting perusahaannya. Ia menghela napas sabar dan memilih melemparkan ponsel mahalnya ke atas sofa yang berada tepat di hadapanya. Berharap rasa kesal dan lelah meluap begitu saja.

Namun, hal itu tak berlaku. Tiba-tiba saja wajah seorang gadis melintasi pikirannya yang memasang wajah garang. Berpikir aneh mengapa gadis itu berbeda dengan kemarin? Bukannya kemarin ia memujanya? Lalu, kenapa sekarang ia tampak membencinya?

Ah, persetanan dengan apa yang ada. Dengan cepat, Freinz merebahkan diri dan memejamkan mata. Berusaha untuk tidur nyenyak malam ini. Akhir-akhir ini ia sulit untuk tertidur pulas mengingat betapa lelahnya ia dalam menghadapi Perusahaan Orlandz- perusahaan milik kakeknya. Hingga tak lama, suara helaan napas yang teratur mengisi kekosongan dan kesunyian kamar itu.

Di sisi lain, Enza yang baru saja pulang dari acara meetime dengan Al langsung mendapatkan tatapan tajam dari seorang pria paruh baya yang berdiri di depannya tatkala ia menutup pintu utama.

"Darimana saja kamu?!" Enza terdiam dan berpikir.

"Um ... Kafe," cicitnya sembari menunduk.

"Kamu mencoba membohongi Abi, Enza?" bentak abinya lagi. Apa? Abi? Ya, sosok pria paruh baya yang sedang membentaknya adalah abi Enza-Hasan Rein. Enza menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap wajah sangar sang abi. Riza-Umi Enza datang menghampiri keduanya setelah mendengar keributan yang ada di Ruang Tamu.

"Keterlaluan! Sukanya main keluyuran! Main gak kenal waktu. Kalo begitu, kamu harus mondok, Enza!" kesal Hasan sembari menatap tajam Enza yang tengah menunduk. Enza yang mendengarnya pun terkejut. Ia lantas mendongakkan kepalanya dan menatap Hasan.

"Gak, Abi! Enza gak mau mondok! Enza gak mau pergi dari rumah ini! Enza gak mau!" tolak Enza tegas. Dengan kesal, ia mulai berjalan menuju tangga. Menaikinya dan membanting pintu kamarnya. Riza yang melihatnya pun berjalan menghampiri Hasan-sang suami.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now