18. Perjodohan?

31 4 0
                                    

Siangnya, seperti biasa, Enza bekerja di kafe. Membuat beragam jenis kopi dan turut serta mengantarkannya ke pelanggan. Hanya saja, ia tak menemukan Freinz di mana pun. Toh, mungkin, dia sedang sibuk. Jadi, tidak datang ke kafenya. Enza pun mengedikkan bahu tidak acuh dan kembali meracik kopi.

"Dor!" Enza terkejut. Membalikkan badan dan menemukan Al di balik badannya tengah tersenyum sembari melambaikan tangan. Tak merasa bersalah sama sekali.

"Kenapa lo di sini? Jangan bilang mau minta gratisan," sindir Enza sembari menghancurkan beberapa biji kopi. Menjadikannya menjadi bubuk kopi.

"Niatnya sih gitu. Tapi, karena elo udah tahu niat gue. Jadi, boleh dong ice cadoffenya satu." Al mengacungkan telunjuknya sembari menaik-naikkan kedua alis. Enza memutar kedua bola mata malas dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"Nggak! Mood gue udah buruk gara-gara lo. Jadi, maaf ya, Teh." Enza tersenyum senang. Sedangkan Al berpindah posisi. Menjadi di sisi kiri Enza. Merangkul lengan Enza erat sembari menampilkan puppy eyes.

"Ayolah, sekali-kali traktir gue napa? Lo kan hokay." Enza berbalik menatap Al. Mendorong kening Al keras.

"Helo, lebih kaya mana sama lo? Punya helikopter 5. Apa-apaan!" gerutu Enza sembari bersedekap. Menatap aneh Al.

"Ya kan itu punya bokap gue," jawab Al diiringi nada bangga. Enza berdecih.

"Punya bokap dari mana? Udah jelas satu anggota keluarga lo dapat 1. Otomatis, lo juga dapat 1. Gitu aja masih ngelak!" jelas Enza jujur. Membuka salah satu rahasia Al. Yah ... Namanya juga orang kaya. Apapun bakal mereka beli. Sekalipun itu barang yang sangat mahal. Contohnya, helikopter, jet pribadi, mobil sport, dan barang-barang mewah lainnya.

"Ya ... Kan namanya hadiah. Kalo lo mau, helikopter gue buat lo deh," asal Al sembari mengedikkan bahu.

"Gak! Gak butuh! Gue lebih suka kendaraan darat," jawab Enza mantap.

"Kenapa? Takut ketinggian? Kayak lo dulu, disuruh manjat pohon jambu sama Rafael. Manjatnya sih bisa, tapi turunnya. Beuh ... Udah kayak anak kucing aja lo! Imut bat." Al meledakkan tawanya. Tertawa keras hingga mengundang banyak perhatian dari pengunjung kafe. Segera, Enza membekap mulut Al. Menariknya 'tuk bersembunyi. Takut dilihat oleh orang-orang.

"Gak usah ungkit-ungkit aib orang. Gak baik!" peringat Enza sembari berbisik. Takut rahasianya didengar oleh orang lain.

"Iya-iya, bu ustadzah." Enza terdiam. Tidak melanjutkan perdebatan mereka.

"Eh, lo sibuk gak?" tanya Al mengalihkan topik.

"Kalo gue jawab 'ya'. Gimana?" ucap Enza sembari menatap Al menatang. Kontan, Al memukul Enza. Membuat ia meringis kesakitan.

"Ih, jahat banget sih lo. Sahabat butuh bantuan juga. Malah nolak," kesal Al sembari mencebikkan bibir. Enza terkekeh. Berganti mengglayuti tangan Al.

"Ututu ... Kasihan banget deh. Btw, lo butuh apa? Kalo gue sanggup, gue bantuin deh."

"Beneran?" tanya Al dengan mata berbinar senang. Enza menganggukkan kepala ragu.

"Tapi jangan aneh-aneh. Jangan suruh gue mintain semua nomor pengunjung di sini. Apalagi yang cogan. Beuh ... Gak ada hati gue."

"Hm ... Sebenarnya, gue mau nyuruh lo itu sih. Tapi, gak apa deh. Gue minta tolong yang lain aja."

"Nah, tahu diri juga."

"Kalo gitu, temenin gue belanja." Mata Enza membola.

"Apa? Belanja? Gak! Gue gak mau!"

"Ayolah, biasanya lo juga mau. Tumben lo gak mau."

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang