Freinz Albert Orlandz

218 29 60
                                    

Sahabat adalah segalanya. Berkat mereka, kita bisa merasakan apa artinya suka dan duka bersama. Tanpa harus memikulnya sendiri di saat orang-orang mencaci maki diri kita

☕☕☕

Freinz Albert Orlandz. Pria tampan yang baru-baru ini menyelesaikan masa kuliahnya di Berlin, Jerman. Kini, ia harus menggantikan posisi sang papa untuk menjadi seorang CEO di sebuah perusahaan terbesar nan terkenal di Indonesia. Ya, Perusahaan Orlandz, milik kakek buyutnya.

Freinz memiliki perawakan sangat tampan. Dengan rahang yang tegas, alis tebal, lesung pipit, dan pastinya hidung mancung. Tak heran, ia banyak digandrungi oleh kalangan kaum hawa. Akan tetapi, Freinz tak pernah sekalipun tertarik dengan mereka.

Tak heran, di umur dua puluh delapan tahun ia masih menyendiri. Senyum saja jarang ia perlihatkan—termasuk kepada keluarganya. Yah, selain pelit senyum, ia juga adalah seorang pribadi yang tegas, cuek, dan pastinya dingin. Terkadang, ia sendiri kaku layaknya es batu. Namun, di balik itu semua, ia pernah berhasil mendapatkan berbagai kejuaraan ketika duduk di bangku sekolah. Mengingat otaknya yang cerdas bak Albert Einstein. Lalu, apakah ada yang bisa meluluhkan hati bekunya?

Seorang pria kini berjalan dengan angkuh menuju ruang kebesarannya. Ya, Ruang CEO dengan seorang wanita di sisinya yang tak lain adalah seorang sekretaris dan dua orang bodyguard-nya.

Di sepanjang perjalanan, ia mendapatkan berbagai sapaan dari para karyawannya, yang tentu saja tidak ia gubris. Lelaki itu hanya menganggap sapaan itu sebagai angin lalu dan terus berjalan menuju ruang kerjanya.

"Pagi, Pak, Bu."

"Pagi, Pak."

"Pagi, Pak. Makin ganteng aja deh Bapaknya."

"Hus, jangan gitu, lo mau kalo dipecat?"

"Eh, iya. Maaf, Pak."

Tak perlu waktu lama, ia pun sampai tepat di depan ruangannya. Ia berbalik dan menatap sang sekretaris, mengisyaratkan agar bodyguard kembali ke ballroom guna menjaga keamanan di bawah. Sang sekretaris pun mengangguk mengerti dan beralih menatap kedua pria yang berdiri di belakangnya.

"Den, Al, silakan kembali ke ballroom!" perintahnya kepada para bodyguard sang atasan.

Kedua pria yang dipanggil dengan sebutan Den dan Al pun mengangguk. Mereka berbalik dan berjalan menuju lift. Sedangkan sang sekretaris berjalan masuk ke Ruang CEO. Membacakan setiap agenda sang atasan.

"Jadi, jadwal Bapak nanti adalah meeting dari jam delapan hingga jam sepuluh dengan Tyo Group dilanjut jam sebelas dengan Pak Theodore dan—"

Tiba-tiba saja suara dering telepon menginterupsi ucapan sang sekretaris. Sang lelaki tampak mendengus. Segera saja, ia mengambil iPhone mahal miliknya dan berjalan menjauh mendekati jendela. Tanpa basa-basi lagi, ia pun menggeser tombol bewarna hijau dan segera mendekatkan iPhone ke telinga.

"Hai, Bro," sapa seseorang di seberang sana yang tidak direspon oleh sang empu.

"Bro," panggil sosok di seberang sana lagi. Namun, kali ini hanya dehamanlah yang menyahuti perkataannya.

"Ck, dari dulu nih ya, lo gak pernah berubah. Selalu saja ngomong irit seakan-akan kalo lo ngomong panjang dunia ini akan kiamat. Aneh tau gak!" celotehnya panjang lebar yang tidak membuahkan jawaban dari sang lelaki.

"Ih, ngeselin banget sih lo. Lo tuh ya—"

"Langsung aja, lo mau bilang apa?" tanyanya yang sudah jengah dengan celotehan sang sahabat.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now