14. Degup Jantung

32 4 0
                                    

"Um ... Emang, gue gak ngrepotin?" Freinz menggelengkan kepala.

"Oh, oke, makasih." Enza berjalan menuju pintu kamar. Belum sempat, ia membuka pintu. Tiba-tiba saja tangannya dicekal. Dan Enza pun langsung menghentikan langkahnya.

Dalam hati ia berharap jika Freinz tidak memergoki wajahnya yang kini memerah malu. Karena sikap dan tindakan yang sedari tadi diberikan oleh Freinz. Freinz sendiri kembali dilanda gelenyar aneh di dalam tubuhnya. Terutama jantungnya yang kini berdegup sangat cepat hanya karena ia menyentuh tangan Enza.

Tak mau merasakan hal aneh itu lebih lama lagi, Freinz memutuskan untuk melepaskan cekalannya dan mengatur raut wajahnya sedingin mungkin. Agar ia tak terlihat seperti anak remaja yang sedang jatuh asmara.

"Minum teh!" titah Freinz dari balik tubuh Enza. Enza segera memutar tubuhnya. Menatap Freinz bingung.

"Hah? Teh?" Freinz mengangguk. Menunjuk secangkir teh yang berada di meja bersofakan warna hitam.

Enza menggaruk tengkuknya dongkol dan bergegas duduk di sofa. Meraih teh dingin itu dan menyesapnya cepat. Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, Enza bergegas keluar dari kamar. Disusul oleh Freinz. Mengambil tisu yang ada di meja ruang tamu dan beranjak menuju pintu keluar. Memakai kembali sepatu kets miliknya.

"Gue ... Pergi dulu!" pamit Enza terburu-buru. Freinz mencekal tangan Enza. Mencegah gadis itu pergi.

"Tunggu!" titah Freinz dingin. Enza terdiam dan membeku di tempat. Menunggu intruksi Freinz.

"Grez, jaga Thel! Saya pergi dulu!"

Tanpa menunggu persetujuan Grez, Freinz memakai sandal kulit mahalnya dan menarik tangan Enza keluar. Mereka saling menggenggam tangan satu sama lain. Sadar akan situasi, Enza buru-buru melepas tangan Freinz. Mengusap-usap tangannya dan terus berjalan berdampingan menuju lift.

Lift terbuka. Mereka pun langsung masuk ke dalam. Tidak ada obrolan apapun di antara mereka. Hanya ada suara mesin lift yang berbunyi sebagaimana aslinya.

"Um ... Gue ...," gugup Enza mencari topik pembicaraan. Freinz masih kukuh pada posisinya. Tidak menoleh ke arah Enza. Membuat Enza kelimpungan sendiri.

"Ekhem, gue mau tanya. Grez itu ... Pacar lo atau—"

"Baby sitter Thel," jawab Freinz cepat. Enza menoleh terkejut ke arah Freinz. Kembali menormalkan air muka dan menggerak-gerakkan tangan ke sana kemari. Mencari aktivitas di sela-sela turunnya lift.

Dalam hati, ia merutuki lift yang terasa lambat. Sehingga, ia merasakan kalau lift yang dinaikinya tak kunjung sampai. Menoleh ke arah nomor di samping pintu dan berharap pintu segera terbuka.

"Jaga diri baik-baik, jangan kebut-kebutan!" peringat Freinz cepat. Enza melongo. Menatap Freinz tidak percaya. Apa yang tadi dibilang Freinz? Jaga diri? Jangan kebut-kebutan?

Oh my God! Ingin sekali Enza berteriak kepada dunia. Bagaimana bahagianya dia sekarang. Hanya dengan beberapa kalimat yang dilontarkan Freinz. Mampu membuat relung hatinya menghangat. Diikuti dengan rona merah di kedua pipinya. Membuat ia seperti anak remaja yang baru saja tahu akan cinta monyet.

"Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Freinz enteng. Ia sendiri merasa kebingungan akan gelagat  tidak biasa Enza. Memang, ia mengatakan hal yang salah? Hingga membuat gadis bercelana pendek itu bungkam dan tidak bersuara lagi.

Enza yang ditegur hanya menggelengkan kepala salah tingkah. Menggaruk tengkuk dan bergegas keluar ketika pintu lift terbuka.

"Um ... Gue duluan. Lo gak usah ikut gue keluar. Cukup sampai di sini aja. And ... Bye-bye!" Enza lari terbirit-birit menuju lobi apartemen. Berusaha mencari tempat persembunyian aman. Guna menormalkan detak jantungnya.

Secangkir Kehangatan (END)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin