29. Liontin

20 5 0
                                    

Selepas pertunjukkan, Enza pun langsung menarik Freinz menuju pusat cinderamata. Berkeliling sembari mencari barang yang nantinya akan ia bawa pulang dan dijadikan buah tangan.

"Eh, Freinz. Bagusan mana? Yang ini atau ini?" tanya Enza sembari membawa miniatur sepeda dan motor. Freinz menatap Enza datar.

"Ambil semua saja!" titah Freinz tak ingin berlama-lama.

"Ih, jangan gitu dong. Mubadzir nanti uangnya," rutuk Enza tidak terima. Freinz menghela napas dan menunjuk miniatur motor.

"Ini? Yakin?" Freinz mengangguk.

"Oke, aku pilih ini saja." Enza mengambil miniatur mobil dan meninggalkam Freinz begitu saja. Freinz menatap Enza dongkol. Menarik napas dalam-dalam dan bergegas mengikutinya layaknya seorang asisten.

Enza tampak berputar-putar mengelilingi pusat oleh-oleh. Sebelum akhirnya ia terpaku dan berteriak. Membuat mereka menjadi pusat perhatian. Freinz menepuk keningnya pelan. Berusaha sabar akan tingkah Enza dan berjalan mendekatinya.

"OMO! Keren banget. Lihat nih, Freinz. Liontinnya unyu banget ...," gemas Enza sembari terus membolak-balikkan liontin di genggamannya. Freinz menatap liontin Enza sekilas dan berdeham. Enza mencebikkan bibirnya dan menyodorkannya pada Freinz.

"Lihat yang bener dong! Bagus banget nih."

"Ini buat apa?" heran Freinz memegang liontin di tangannya.

"Buat keluarga Freinz kecil kita. Jadi, kalo nanti kamu kangen aku, kamu cukup genggam liontin ini. Oke?" ucap Enza sembari menggenggam erat liontin miliknya yang bertuliskan huruf F.

"Emang ngaruh?" tanya Freinz sembari menukikkan alisnya. Enza berdecak.

"Ih, udah. Ikutin aja! Jadi orang sweet dikit napa sih? Kelihatan banget gak pernah punya mantan."

"Aku punya."

"Oh, ya? Kalo gitu, beruntung dong mantan kamu. Harus mati bosan sama sikapmu."

"Sikapku? Apa?"

"Ya, dingin, datar, cuek, gak romantis," sinis Enza.

"Oh, ya?" Enza mengangguk.

"Kalo gitu, aku tanya. Emang, kamu punya mantan?" Enza terdiam. Ia tampak berpikir dan menggerakkan badannya ke sana kemari. Sebelum akhirnya ia menggeleng dan menunduk malu.

"Aku gak pernah pacaran. Secara, ortu gak ngbolehin aku. Paling-paling juga cuman nggebet doang. Gak pernah sampe tahap pacaran."

"Jadi, aku pasangan pertamamu?" tanya Freinz dengan nada bersemangat.

"Bisa dibilang begitu," cicit Enza sembari memainkan jari jemarinya. Freinz mengukir senyum dan mengecup kilat kening Enza. Enza meolot dan kontan memukul tangan Freinz. Membuat ia tertawa melihat tingkah gemas Enza.

"Udah-udah, kamu mau belanja apalagi? Atau perlu aku borong semuanya?" tawar Freinz bersemangat.

"Ih, gak usah. Boros! Beli yang penting dan unik aja. Bentar ya." Enza mengedarkam pandangannya kembali. Dan berjalan menuju sebuah stand.

"Eh, btw, ini angklungnya bagus nih. Kita beli, yuk. Hitung-hitung buat belajar Thel." ucap Enza sembari memegang satu set angklung dan menatap Freinz dengan penuh binar.

"Hm ... Terserah kamu aja." Enza bersorak gembira. Bergegas mengambil 1 set angklung dan membawanya menuju kasir bersama beberapa barang yang lain.

"Teh, saya beli semuanya. Oh ya, sama liontin ini." Sang kasir terdiam. Terpaku sama ketampanan Freinz. Enza berdecak dan kembali memanggil kasir dengan nada agak tinggi sembari memukul meja. Sang kasir tersentak dan tergagap.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang