"Kamu masih menganggap saya Abimu bukan, hah? Kenapa kamu selalu bikin Abi malu Enza. Kenapa? Dengan kamu tidak memberitahu siapa lelaki itu. Mau ditaruh dimana muka Abi nanti, hah? Dimana Enza? Kalo pun kamu ada lelaki yang kamu cintai, cerita sama Abi. Jangam dipendem sendiri. Dan biarkan Abi dulu yang tahu. Sebelum keluarga besarmu yang tak lain kakek. Dan parahnya lagi, orang luar pun tahu tunanagan kamu. Memalukan!" Hasan menarik napas dalam-dalam. Menghembuskan napas berkali-kali sembari berucap istigfar. Sesekali memukul dadanya berusaha menghilangkan sesak.

"Abi ... Enza ...."

"Kamu!" Hasan menunjuk Enza tajam. Menatap gadis bungsunya dengan mata berkilat merah. "Pokoknya, kamu gak usah ngelak lagi. Lebih baik, kamu—"

Bruk

"Abi!" teriak Enza histeris tatkala Hasan jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Segera saja Enza menghampiri abinya dan menepuk-nepuk pipinya perlahan. Berusaha membangunkannya.

"Umi! Kak Quinza!" teriak Enza keras. Riza yang kebetulan sedang membuat teh pun langsung dikejutkan dengan tidak sadarnya sang suami di ruang tamu. Bergegas meletakkan teh buatannya dan ikut menepuk pipi Hasan. Disusul dengan Quinza yang masih lengkap dengan mukenanya petanda ia baru saja selesai melaksanakan salat duha.

"Enza! Cepat panggilkan ambulan!" Enza menganggukkan kepala cepat. Segera merogoh celananya dan memanggil nomor darurat.

"Halo."

"Halo, dengan rumah sakit Hidayatullah."

"Tolong pesankan ambulan di komplek perumahan Cendrawasih sekarang! Oh ya, atas nama Hasan Rein." Enza mematikan sambungan secara sepihak. Kembali menghampiri sang abi sembari merapalkan doa.

Tetes demi tetes air mata kini mulai berjatuhan dari kedua mata indah Enza. Ternyata, seperti inilah namanya rasa sakit ketika orang yang dicintainya meninggalkan dirinya. Kenapa terasa sesak dan pedih? Enza terus menangis hingga membuat koko Hasan basah kuyup. Quinza pun berusaha 'tuk menenangkan Enza dan memeluknya erat. Hingga suara sirine ambulan terdengar di depan rumah Enza.

Tampak orang-orang berpakaian putih keluar dari dalam ambulan sembari membawa sebuah brankar. Seorang perawat pun menggendong Hasan dan meletakkannya di brankar. Mendorongnya masuk ke dalam ambulan. Segera saja, Riza naik ke atas ambulan. Bersamaan dengan Enza. Namun, belum sempat Enza masuk, Quinza sudah lebih dulu menahannya dan menyuruh Riza 'tuk berangkat lebih dulu.

"Kenapa, sih, Kak? Kok nahan Enza? Gak usah cari masalah bisa gak sih, Kak? Ingat, Kak! Abi lagi sakit. Jangan bikin masalah deh," kesal Enza dengan air mata yang tak terbendung.

"Iya, kakak ngerti. Tapi, kamu ke rumah sakit bareng kakak aja naik mobil. Biarin umi aja yang nemenin Abi."

"Tapi—" Quinza pun memberi siyarat kepada sang umi yang dibalas oleh anggukkan kepala.

"Pak, silakan berangkat!"

Brak

Pintu ambulan pun tertutup. Bersamaan dengan suara sirine ambulan yang kembali berbunyi dan berlalu begitu saja dari kediaman rumah Hasan. Meninggalkan Enza dengan pikiran berkecamuk. Bingung harus melakukan apa.

"Kak, kenapa sih kakak nglarang aku naik? Aku kan mau nemenin Abi," ucap Enza frustasi. Wajahnya sendiri tampak pucat bercampur panik.

"Iya, Kakak tahu. Apa tidak sebaiknya kita berkemas-kemas dulu baru kita ke sana? Nanti, kalo gak ada baju gimana? Kamu mau pake baju itu terus?" jawab Quinza berusaha berpikir logis.

"Tapi, Kak. Itu gak penting! Yang penting, nyawa Abi, Kak! Nyawa Abi! Kalau sampe terjadi apa-apa dengan Abi, gimana Kak? Kakak mau tanggung jawab, hah?" ucap Enza diringi emosi yang meletup-letup.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now