Di sisi lain, Freinz terus berlari mengelilingi perusahaan. Mencari keberadaan Enza sembari terus berputar-putar. Yang hasilnya nihil. Sama sekali tidak menemukan sosok tersebut. Berulang kali ia menelpon nomor Enza. Namun, nahasnya, nomor miliknya diblokir dan ponsel Enza pun tidak aktif.

Hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk mengecek CCTV perusahaan. Menscreenshoot plat nomor Jazz hitam Enza. Dan mengirimkannya kepada orang kepercayaannya, memintanya untuk melacak. Tak butuh waktu lama, Freinz langsung mendapatkan informasi yang diinginkannya. Ia pun bergegas masuk ke dalam mobil BMW hitamnya dan mengendarainya menuju tempat Enza berada.

☕☕☕

Enza terus menatap keramaian di depannya. Tak berniat untuk beranjak ataupun berbaur dengan orang-orang di sana. Pandangannya kosong. Dan pikirannya pun berkelana. Kembali teringat akan peristiwa beberapa menit yang lalu di ruangan Freinz. Membuat hatinya terluka bak disayat belati mengingat betapa mesranya pelukan mereka. Ia pun menitikkan air mata sembari mengepalkan kedua tangan sedih. Menundukkan wajahnya dan terisak.

Dari sekian banyaknya orang, tak ada satupun yang datang menghampiri dan menenangkannya. Seakan-akan mereka menganggap Enza sebagai angin lalu dan sosok tak kasat mata. Membuat kesedihannya kian dalam dan menyesakkan. Dalam hati, merutuki diri yang sudah menyukai seorang lelaki yang lebih tua darinya. Karena bagaimana pun, ia akan beda level darinya dan kalah muda.

Terlebih lagi, Freinz adalah orang terpandang dan memiliki derajat yang tinggi. Sedangkan dia? Hanya seorang gadis biasa berketurunan seorang sunan yang dimana keluarga mereka sudah tak mempercayai seorang ustadz lagi. Sungguh menyesakkan. Enza menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya berulang kali.

"Enza," panggil seseorang yang terasa familiar di pendengaran Enza. Enza tak mengubris. Terus menundukkan kepala dengan kedua tangan mengepal.

"Enza, kamu salah paham. Aku tadi dipeluk paksa sama dia." Enza bangkit berdiri dari posisi duduknya.

Semenjak kedekatan dan langgengnya hubungan mereka, Enza berinisiatif menyuruh Freinz untuk memanggilnya dengan sebutan aku-kamu. Katanya sih biar tambah akrab dan mesra saja. Kalau tidak, biasanya mereka akan memanggil dengan sebutan 'Sayang' kalau mereka mulai bermanja.

"Terus, kamu terima aja? Iya?" ucap Enza diiringi emosi yang meletup-letup.

"Aku gak nerima dia kok, Sayang. Trust me."

"Gimana caranya aku bisa mempercayaimu, Freinz? Di saat kamu sudah menghancurkan kepercayaanku. Katakan, Freinz! Katakan!" Mata Enza mulai berkaca-kaca. Tak sanggup menatap sosok di hadapannya dan kembali meneteskan air mata hanya karena dirinya.

"Aku gak tahu harus percaya sama siapa. Sama mataku? Atau kamu? Aku terlalu polos dan tak tahu akan hal ini. Aku ... Seperti buta, Freinz. Tidak tahu mana yang benar dan salah." Bisa Freinz lihat luka di dalam hati Enza. Hanya dengan memandangi kedua retina matanya. Luka yang begitu menyakitkan sekaligus menyesakkan.

"Tapi, ini benar, Sayang. Dia yang memelukku paksa dan aku tidak membalasnya," jujur Freinz berusaha memberi kebenaran.

"Beneran?" tanya Enza dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca. Freinz menghela napas. Menarik kepala Enza dan memeluknya erat. Mengelus lembut surai hitam panjang Enza.

"Sayang, percayalah sama aku. Aku tidak pernah memeluk wanita manapun kecuali kamu."

"Termasuk mama kamu?"

"Apakah aku harus menjawabnya?" Enza terdiam. Tak merespon pertanyaan Freinz. Tetap menahan kedua tangannya di antara tubuhnya dan Freinz. Tidak ingin berpelukan dengannya.

Secangkir Kehangatan (END)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum