"Gue udah pergi kemarin. Biasa, kalo bad mood kan gue bawaannya mau ke sana," alibi Enza. Takut hubungannya dengan Freinz diketahui Al.

"Iyain! Ayo dong, Nza. Temenin gue. Cuman nyalon sama beli gaun doang kok," melas Al sembari mengeluarkan jurus andalannya.

"Salon? Gaun? Lo mau ikut pesta perusahaan bokap lo?" tebak Enza.

"Ya, lebih tepatnya perjodohan."

"Apa?!" Mata Enza membeliak kaget. Jadi, sahabatnya mau menikah? Kapan? Kenapa ia tidak mengabarinya terlebih dulu?

"Perjodohan? Sama siapa? Kapan?" tanya Enza beruntun—terlihat kepo.

"Um ... Anak sahabat papa. Yang dulu pernah gue tunjukin fotonya," ucap Al dengan nada sangat bahagia. Enza mengerutkan kening. Berusaha mengingat-ingat. Namun, percuma saja. Karena ia tak mengingat foto tersebut sama sekali.

"Tunggu apalagi? Ayo, buruan!"

"Eh, iya, bentar-bentar." Enza bergegas melepaskan apron hitamnya ke atas meja. Seakan tidak mau membuang-buang waktu, Al bergegas menarik Enza pergi. Enza hanya bisa pasrah. Menyerahkan dirinya pada sang sahabat.

"Bang Doni, Enza izin dulu. Tolong sampein ke Kak Quinza, ya. Bye, Bang!" Enza mengangkat tangan kanannya. Memberikan salam perpisahan dengan tangan kiri yang ditarik terus menerus oleh Al. Membawanya menuju mobil miliknya.

"Nanti, habis dari mal, lo ya yang nyetir mobil gue, ya," sarkas Al, tidak menerima penolakan.

"Kok?" heran Enza.

"Udah, nurut aja. Nanti kapan-kapan gue traktir lo deh sebagai gantinya." Enza menatap wajah Al mengintimidasi. Memastikan ucapan Al benar atau hanya bualan saja.

"Ck, gak percayaan banget jadi sahabat." Al mendorong kening Enza menjauh.

"Emang!"

"Cih!" Al memalingkan wajah. Menyalakan mesin mobil dan membawanya menuju mal terkenal di Kota Bandung. Mengendarainya dengan kecepatan rata-rata.

Tak butuh waktu lama, mereka memasuki basemant mobil. Memarkirkan mobil dan bergegas memasuki mal. Lantas, mencari salon langganan mereka dan masuk ke dalam. Tanpa basa-basi, Al langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi—bersiap untuk diberi perawatan. Berbeda halnya dengan Enza yang memilih untuk duduk di sofa tunggu sembari membaca majalah. Tampak tak ingin melakukan perawatan selayaknya Al.

"Selamat siang, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" sapa pekerja salon dengan hormat.

"Saya mau paket komplitnya ya, Teh. Oh ya, sama dia!" Al menunjuk Enza. "Sekalian, oke? Dan ini uangnya." Al mengeluarkan beberapa lembar uang bewarna merah muda. Memberikan semuanya kepada sang pelayan.

"Tidak perlu kembalian, terima kasih." Sang pelayan mengangguk hormat. Pergi meninggalkan Al dan berjalan menghampiri Enza.

"Halo, Nona. Silakan untuk duduk di kursi." Enza menurunkan majalah. Mengerutkan kening tidak mengerti. Perasaan, dia tidak membayar. Lalu, kenapa ia disuruh duduk di sana? Atau jangan-jangan—

"Maaf, Teh. Saya ...."

"Teman anda sudah membayarnya." Enza mengatupkan bibir. Memasang wajah datar seraya mengangguk kepala paham. Benar dugaan Enza. Pasti, ini ulah sahabatanya. Sembari menatap Al sinis, ia beranjak menuju dari sofa dan duduk di sebelah Al.

"Kebiasaan!" bisik Enza tepat di telinga Al. Al terkekeh sembari menggaruk tengkuk. Enza mengulurkan jarinya. Memulai manikur dan padikur. Begitu pula dengan Al. Memulai kegiatan salon mereka. Yang dimulai dari pijat, keramas, hingga mengkeriting rambut.

Secangkir Kehangatan (END)Where stories live. Discover now