Sin 90°

1.1K 289 342
                                    

•Dimulai•

'If you live according to what other think, you will never be rich.'

"Awalan yang menarik," gumam gadis dengan rambut panjang yang mulai membaca buku karya Henry Manampiring.

Gadis itu melompat dengan satu gerakan dari tempat tidurnya. Mengambil kaca mata baca dan duduk di depan meja belajar. Setiap detail kalimat dibaca tanpa ingin melewatkan makna tersirat. Jarinya membuka lembar-lembar baru yang membuatnya semakin ketagihan.

Berulang kali dia spechles dan kesusahan meneguk saliva. Semua tentang buku ini luar biasa. Logikanya masih kesusahan mencerna setiap makna, tapi harus dilanjutkan. Jawaban dan penjelasan itu semakin terlihat. Magnet. Buku ini memiliki magnet yang membuatnya terus tertarik untuk melanjutkan halaman baru.

'Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tapi justru inginkan agar hidup terjadi seperti apa adanya, dan jalanmu akan baik adanya.'

Gila. Ya, eksperimen dalam buku ini sangat gila bila dia tidak melanjutkan hingga bab akhir. Apa rasanya jika sebuah buku menyarankan kau untuk tidak sekedar ikhlas saat kehilangan sesuatu? Tapi, justru kau harus 'menginginkannya.' Absurd? Gila? Tidak. Semua netral, tergantung interpretasi kita. Sebenarnya kita bisa lebih dari iklhas untuk mengingini semua peristiwa apapun dalam hidup. Sulit, tapi bukan berarti mustahil.

Hal ini membuat gadis itu menutup buku, memundurkan kursi dengan dorongan kakinya terhadap dinding. Dia menyibakkan gorden jendela yang sedari tadi setia menghalangi cahaya untuk merambat ke ruang kecil dengan nuansa peach. Pemandangan pertama yang ditangkap netranya adalah lapangan bermain sewaktu kecil. Dia menarik napas perlahan, semerbak patrichore tercium sampai ke lantai tiga. Tidak lama lagi, kota ini dan segala kisah di dalamnya akan menjadi cerita.

PRAK!

Bantingan keras pintu itu membuat gadis dengan kacamata baca itu kaget dan menoleh. Matanya mengikuti langkah seorang wanita yang semakin mendekat.

Wanita itu berhenti menyisakan jarak dua meter. Matanya menggeledah setiap sudut ruangan. Tatapan tajam tiba-tiba diarahkan pada gadis yang menatapnya datar. "Apa mau mu?"

"Tetap tinggal di kota ini." Gadis itu melepaskan kaca matanya.

"Ck! Memalukan. Kau tidak akan berkembang di sini. Kemas barang mu dan berangkat lah!" Titahnya dingin.

"Untuk apa Bunda bertanya jika aku tidak akan mendapatkan nya?"

"Bunda ikut, kan?"

Bukannya menjawab, wanita itu malah melemparkan amplop berisi uang ke tempat tidur. "Meeting saya jauh lebih penting." Wanita itu melangkah pergi dan berhenti diambang pintu. "Pergi dan jadilah nomor satu. Jangan buat saya malu."

Gadis itu tertegun tanpa ekspresi. Realita memang semenyakitkan itu. Tapi, tunggu— dia bergerak mengambil koper dari atas lemari. Memilih pakaian dan menyusunnya ke dalam koper. Tidak ada air mata, kata, dan rasa.

"Ya, aku ingin ini. Aku ingin berkembang di Zokusa."

•°•°•


Sinar mentari mulai terpancar. Memperlihatkan seorang gadis dengan seragam lengkap khas SMA Zokusa. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, menambah karisma dan kecantikannya. Cermin full body menjadi saksi betapa datar dan penuh paksaan nya wajah itu.

SMA Zokusa adalah sekolah menengah terbaik ke-3 di Asia. Fasilitas, prestasi, kurikulum, dan tenaga pendidik sudah tidak diragukan lagi. Tahun ini, Zokusa hanya menampung 100 orang siswa baru dari 11.376 orang yang mendaftar. Siapa pun yang menjadi siswa sekolah ini akan sangat beruntung. Dengan konsekuensi harus siap bertarung melawan orang-orang yang berprestasi secara akademik maupun non akademik.

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang