1/324 = (1/n)²

204 45 15
                                    

Terima kasih pada waktu yang telah mengungkap kebenaran. Terima kasih pada angin yang telah menyampaikan banyak makna tentang sebuah kisah.
.
.
.
.

Sayap Kekuatan•

Alexa masuk ke halaman rumah, kemudian Bryan menstandarkan motornya. "Maaf, Al."

Sehari. Dua hari. Bahkan seminggu. Bryan menghilang tanpa jejak. Alexa dihantui rasa cemas. Laki-laki itu jarang sekali meninggalkan kelas tanpa alasan seperti ini. Sampai dua minggu kemudian, Alexa mendengar Bryan pindah ke sekolah ternama di Jerman. Luka itu terbiasa dengan perjalanan waktu, hingga perlahan pulih. Dan waktu secara tiba-tiba mengungkap kebenaran yang menyakitkan.

"Al,"

"Al,"

"Al!" Alexa tersentak saat pundaknya diguncang pelan oleh Derrent yang menatapnya ... iba, barangkali.

Dia tersenyum, memperbaiki posisi berdiri. Melepaskan tatapan Derrent. "Makasih kak," Alexa mengembalikan mug yang sedari tadi digenggam nya. Lalu, melangkah mundur dengan harmonisasi antar banyak rasa.

"Posisi lo sekarang mimpi yang diperjuangkan adik gue sejak dulu. Demi seragam yang lo kenakan tadi pagi, dia menyerahkan waktu dan jiwanya."

Hening.

Derrent berbalik menumpukan tangannya pada railing balkon. "Tapi, lo jahat banget, childish," Derrent tertawa remeh.

"Ma-maksud lo, kak?" Suara Alexa bergetar.

"Gue tau lo manipulasi hasil olimpiade lo."

"Gue nggak pernah manipulasi apa pun, hasil itu pure minimnya kemampuan gue kak."

"Lo kira gue anak SD, Al? Mungkin lo bisa nipu orang lain, tapi pihak sekolah terutama pak Nando nggak mudah buat lo tipu. Lo bawa nama Zokusa, artinya lo alat dan asetnya Zokusa."

Alexa tak menjawab, otaknya terlalu sulit untuk mengolah rangsang. Bryan masih memenuhi pikirannya dan kini dia harus memutar banyak alasan logis untuk disampaikan pada laki-laki di hadapannya. 

"Kak, nggak semua ekspektasi jadi kenyataan. Gue juga punya target dan mimpi. Tapi, gue juga punya kelemahan,"

"Lo perempuan paling lemah, Al.  Gue nggak tau apa yang buat Bryan naruh hati sepenuhnya buat lo. Padahal nggak ada yang spesial dari lo."

"Maaf, Al."

Pelan dan sangat menusuk. Perkataan rancau Derrent terdengar begitu menyakitkan.

Alexa terpaku, menggeleng tidak percaya. Seseorang yang baru saja memberi sedikit kenyamanan dan rasa, kembali menghancurkan segalanya tanpa rupa yang berharga.

Semua luka muncul tanpa aba-aba. Melenyapkan harapan, menghancurkan hasra dan melengkapi semua lara yang sudah diterimanya.

"Iya gue lemah kak!" air matanya luruh.

"Please, jangan nangis cantik."

"Gue terlalu takut kehilangan orang yang gue sayang untuk kesekian kalinya. Gue ke sini, hanya demi nyusul orang yang gue sayang meski nyatanya dia nggak mungkin gue temui lagi. Dan sekarang, gue bakal mundur dari sini demi orang yang gue sayang juga. Masuk ke Zokusa adalah kesalahan kak, gue terlalu berambisi bahwa gue bakal nemuin satu sayap gue yang hilang. Nyatanya, gue malah mempertaruhkan satu sayap gue yang lain."

Tangis Alex mampu mengiris hati Derrent. Ada luka yang tersirat dari setiap intonasi dan kata darinya. Namun, dia tak bisa ikut larut jika tak ingin semua hancur. Mengapa harus mengalah, jika masih ada akumulasi kemenangan sekecil apa pun?

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang