Purposely.

885 101 4
                                    


"Dasar cowok nggak tahu diri! Dikasih kesempatan malah nggak mau, dia kira gue beneran rongsok kali." Berkali-kali Mey mengoceh saat ia mengingat betapa kasarnya perlakuan Riska tadi, ia sampai melamun dan mengumpat ketika dosen memanggil namanya, alhasil ia mendapat omelan dari sang dosen dan diminta membasuh wajah agar tersadar dari lamunannya. Ketiga teman gadis itu sampai kebingungan menanggapi perubahan sikap Mey tanpa tahu alasannya, mereka hanya menerka jika Meira mungkin mendapat masalah saat ke toilet. "Emang apa bedanya gue sama Luna? Kenapa dia belain Luna banget, sebal!" Meira memukul kemudi beberapa kali meski mobil tengah melaju kencang.

Gadis itu baru saja pulang dari pemotretan, ia lebih lambat dari biasanya, hari ini berkali-kali Mey mendapat teguran dari fotografer karena ekspresi wajahnya sama sekali tak sesuai dengan arahan yang diminta. Jelas saja, seharian isi pikiran Mey terganggu oleh sikap Riska. Seumur-umur baru hari ini ia dibentak-bentak bahkan diancam oleh seorang laki-laki, harga diri Meira seolah anjlok dalam sekejap.

Mobil yang dikemudikannya melesat semakin jauh sebelum memelan dan berbelok memasuki area apartemen, menuju basement dan memarkir kendaraannya di sana.

Mey bergerak cepat menghampiri beranda, melewati lobi dan menghilang di balik pintu lift sebelum ia tiba di lorong panjang—tempat unitnya berada di lantai 25. "Kira-kira Mbak Trias udah pulang apa belum, ya. Gue mau minta dipijit," gumamnya seraya melangkah menyusuri lorong, tapi refleks terhenti saat pintu unit apartemen milik Luna terbuka dan memperlihatkan pemiliknya, perempuan itu terlihat sibuk memeluk beberapa tumpuk buku di dada. Mey tersenyum penuh arti, jelas sesuatu tengah ia pikirkan sebelum langkahnya kembali berlanjut.

Luna masih berdiri berhadapan dengan pintu seraya menata ulang buku-buku tebal di sana, tapi seseorang yang entah sengaja atau tidak—baru saja menubruk Luna dari sisi kiri hingga buku-bukunya terjatuh di selasar.

"Ya ampun! Sorry, Luna. Gue enggak sengaja, heels gue bikin mau keseleo tadi," celetuk Mey yang kini berdiri di dekat Luna seraya memperhatikan tetangganya itu berjongkok mengumpulkan lagi semua buku-bukunya.

"Nggak apa-apa." Luna beranjak setelah semua bukunya terkumpul lagi dalam dekapan dada, ia tersenyum menatap Mey. "Kan kamu enggak sengaja, aku pergi dulu, ya." Luna melenggang pergi, sedangkan tatapan Mey yang semula hangat langsung berubah dalam sekejap, ia menyadari kepura-puraan serta sengaja menubruk Luna tadi.

"Cih, sok polos banget lo, tapi kalau udah di depan Riska pasti beda, jadi jablay," tutur Meira saat punggung Luna semakin mengecil hingga sosoknya menghilang di balik pintu lift. Meira adalah tipikal gadis yang jika sudah membenci sejak awal—pasti akan membencinya sampai kapan pun, rasa tak sukanya jelas beralasan.

Ada yang aneh dengan Meira, dan mengapa harus tentang Riska alasannya. Ada apa dalam diri Riska di mata Meira?

Meira memasuki apartemennya, di tempat yang kini bersih oleh housekeeper itu cukup membuat Mey menarik napas dengan nyaman tanpa adanya polusi asap knalpot atau asap rokok seperti di luar sana. Ia hempaskan pantatnya di permukaan sofa sebelum mengganti heels dengan sandal japit yang selalu tersedia pada rak kecil di dekat pintu.

"Mbak Trias udah pulang belum?" Mey sedikit berteriak, tapi ia tak mendapat jawaban dari siapa pun. "Yah, dia udah pulang." Mey menggerutu, ia beranjak meninggalkan ruang tamu, memasuki kamar dan meletakan cross body bag miliknya di permukaan nakas. Meira langsung meluncur ke kamar mandi, melepaskan setiap helai kain yang membalut tubuh rampingnya hingga ia benar-benar naked. Guyuran air shower yang dingin kini menyapa setiap centi kulit tubuh Mey.

Jika Mey merasa benar-benar lelah, ia bisa berendam di bath up cukup lama seraya mendengarkan musik tanpa ingin diganggu siapa-siapa.

***

TurtledoveWhere stories live. Discover now