Fallin.

273 13 1
                                    


"Mey, Meira." Riska mengetuk pintu kamar mandi setibanya di tempat itu, dan ia tak datang sendiri, teman-temannya ikut mengekor. Begitu pintu dibuka dari dalam, wajah sembap Meira menyambutnya, membuat Riska menarik gadis itu dalam dekapan. "Hey, udah. Gue di sini, nggak akan ada yang gangguin elo kok, lo gue antar pulang ya?"

Meira mengangguk saat tangan Riska mengusap air mata perempuan itu, wajahnya memucat, ia benar-benar takut menghadapi dunia setelah ini, rasanya lebih baik bersembunyi di bawah kolong meja makan lagi seperti saat kecewa terhadap orangtuanya.

"Ya udah, Ka. Si Mey bawa pulang sekarang, kita siap kawal kalian kok," tutur Saka sembari menatap teman lain yang mengangguki perkataan tersebut.

"Thank you," ucap Riska, ia menunduk menatap Meira yang terus diam, padahal baru beberapa hari belakangan Meira merasa senang, tapi hal buruk sebesar ini menghampiri gadis itu, jadi rasa cemas yang merisak Riska sejak pagi benar adanya, sesuatu yang mengerikan baru saja datang menerjang Meira. "Kita pulang, jangan takut ya, gue pastiin orang-orang di luar nggak ngegunjing elo."

Meira mengangguk, tatapannya terus mengarah ke bawah, ia tak berani melihat siapa pun saat berpikir rasa malunya sudah tak ada lagi, orang lain yang membenci Meira sejak awal semakin menjadi hatters, mereka akan tertawa di atas ketakutan Meira, bertepuk tangan dan memberi panggung yang mempermalukan perempuan itu.

Isi pikiran Meira hanya negatif thinking sekarang, dari yang tak pernah memedulikan menjadi cemas berlebihan. Riska merangkulnya, mengajak perempuan itu melangkah bersama saat teman-teman Riska mengekor di belakang mereka bak bodyguard yang siap siaga.

Meira semakin menunduk takut, ia merasa tahanan yang dihujat banyak orang, mata-mata penuh kebencian menghunjam dirinya. Mungkin mereka semua ingin memaki begitu melihat Mey keluar dari kamar mandi, hanya saja saat gadis itu tak sendirian dan dikawal banyak teman Riska, mulut jahat mereka terpaksa dibungkam.

"Meira!" Seruan tersebut membuat langkah Mey serta lainnya terhenti, tampak ketiga teman Meira melangkah cepat dari pintu kantin menghampirinya.

"Mey, lo nggak apa-apa?" tanya Tania sembari menyentuh tangan Meira.

"Mey, itu bener nggak sih gosipnya? Kok serem banget." Selly angkat bicara.

"Iya bener, masa lo jadi cewek kayak gitu sih, Mey?" Mona menimpali.

Tania sontak memelotot pada dua temannya, "Bacot kalian ngomongnya bisa ditata sedikit nggak, ini Mey yang kalian ajak ngomong, bukan tembok."

"Sorry, sorry," ucap Selly.

"Ya maaf, kita kan mau tahu kebenarannya kayak gimana." Mona masih menjengkelkan, tampak Meira mengangkat wajah sembapnya menatap satu per satu dari mereka, bibirnya hampir membentuk sebuah senyum, tapi malah gagal.

"Kalau kalian temen deketnya, Meira. Kalian harusnya tahu Mey gimana, nggak usah jadi temennya kalau gampang kehasut," sungut Riska memasang ekspresi kesal.

Pupil mata Tania melebar. "Eh, enggak gitu kok, Ka. Gue nggak nyudutin, gue cuma cemas aja sama dia." Ia membela diri, toh yang banyak bertanya memang Selly dan Mona tadi, sampai Tania merasa malu sembari mendelik tajam.

"MEIRA KAYAK GITU PASTI KARENA KONTRAKNYA DI AGENCY MAU HABIS, JADI OPEN LOWONGAN BUAT DUIT YANG LEBIH GEDE PAKAI CARA INSTAN, TINGGAL NGANGKANG." Orang-orang tertawa mendengar celotehan kasar Alexa yang muncul bersama teman-temannya, beberapa mahasiswi nan sempat diam saja ikut menimpali, membuat ketenangan berakhir riuh karena perbuatan Alexa memulai perundungan untuk Meira berlangsung.

Tania mendelik, ia memutar tubuh menghampiri Alexa. "Heh, maksud lo apa ngomong kayak tadi, lo tahu banget urusan Mey sampai bacot ngomong seenak jidat."

Alexa tersenyum menyepelekan sembari memilin ujung rambutnya yang dibuat curly, "Astaga, masih ada yang belain? Lo temen garis depan atau hatters terselubung? Kalau gue jadi temennya sih mending ngejauh ya, takut aja kalau aura buruk Meira nyalur ke gue. Jijik ngelihatnya."

"Alexa lo sinting!" Tangan Tania hampir  menyentuh wajah perempuan itu jika saja Selly dan Mona tak cepat menariknya mundur, Meira yang mendengar semua itu hanya diam, tapi air matanya menetes lagi, ia tak memiliki daya untuk berbuat sesuatu atau sekadar membela dirinya di depan orang-orang.

"Hey, itu kenyataannya. Gue satu agency sama Mey di Louisa Portrait, dan kontrak dia sebentar lagi habis, mungkin dia bingung mau kerja di mana lagi, jadinya ke yang itu deh." Lagi-lagi tawa mengejek Alexa mengudara.

"Lepasin gue nggak!" bentak Tania menatap Mona dan Selly bergantian, alhasil sepasang lengan gadis itu dibebaskan. "Kenapa tahan gue dari cewek yang bacotnya bejat kayak Alexa! Kalian demen denger yang kayak gitu, lihat Mey dong, lihat!"

"Kita cuma enggak mau ada keributan, Tan. Gitu aja." Selly membela diri.

"Bener kata Selly, jangan sampai lo dipanggil dekan karena nyerang Alexa. Nanti dia makin kesenengan," imbuh Mona.

Tania bergeming, ia beralih pada Alexa lagi, menunjuk wajahnya tanpa rasa takut. "Lo jangan mulai ya, jangan nambah panas suasana. Mending lo diem, gue nggak ragu sama sekali ke Meira, dia nggak kayak gitu."

"Seriuosly? Kita tunggu aja sampai kalian sadar kalau temen kalian itu emang cewek nggak bener!" tandas Alexa sebelum beringsut pergi bersama teman-temannya.

Tania kembali pada Meira, menyentuh tangan perempuan itu. "Mey, lo jangan dengerin omongan orang-orang ya, gue yakin lo nggak kayak gitu kok, lo mesti ngebela diri."

Meira mengangguk lemah. "Makasih udah mau belain gue di saat gue nggak punya daya apa-apa lagi, Tan."

"Itu bukan apa-apa kok, lo mau ke mana? Pulang?" Perempuan yang ditanyainya mengangguk. "Ya udah, pulang aja sekarang, Mey. Daripada lo dapat bullying di sini, gue juga enggak mau ngelihat yang kayak tadi, rasanya pengin banget emosi."

"Iya, gue mau pulang."

"Gue yang antar." Riska kembali angkat bicara. "Thank's udah belain, Mey. Buat sementara tolong biarin dia tenang, biar gue yang urus masalah ini, kalau ada yang banyak omong kayak cewek tadi, biarin aja. Kalau lo emang percaya sama Mey, nggak usah pusingin omongan buruk tentang dia. Bisa?"

Tania mengangguk cepat. "Iya, iya. Gue percaya kok sama Meira, gue percaya." Ia menoleh pada Selly dan Mona yang sedari tadi malah diam saja. "Kuping lo berdua enggak denger, hey?"

"Iya, kita berdua percaya kok sama Meira," sahut Selly, Mona sekadar mengangguk menyetujui. Aura yang Riska perlihatkan terlalu menakutkan, membuat mereka takut untuk menatap lebih lama.

"Okey. Sekarang gue mau antar Mey pulang, kalau kalian cari dia, datang aja ke apartemennya. Gue sama yang lain permisi." Riska kembali menuntun Meira menyusuri koridor bersama teman-temannya, setelah Alexa menyingkir—semua orang yang sempat menertawai Meira berakhir bungkam juga.

***

TurtledoveWhere stories live. Discover now