Big trouble.

148 13 0
                                    


Ternyata memang ada yang aneh, terlebih setelah keduanya berhenti di area parkir kampus, orang-orang mulai sibuk menatap, khususnya terhadap Meira. Hanya saja gadis itu tampak biasa saja, tak hanya hari ini ia menjadi pusat perhatian banyak orang, bukan hal yang aneh lagi lebih tepatnya.

Mereka berpisah di halaman kampus saat Riska izin untuk menemui kelasnya di gedung yang berbeda, alhasil kini Meira melangkah sendirian menghampiri koridor utama. Lagi-lagi banyak tatapan sinis mahasiswi menyambutnya, Meira kadang kala terheran-heran tentang mengapa manusia satu kampus kebanyakan toxic seperti mereka semua. Bahkan ketika Meira tak berbuat salah pada siapa pun, mereka tetap menganggapnya paling berdosa.

Ia tetap tak acuh sampai bola matanya menemukan geng Alexa datang mendekat, kentara sekali ingin menyambut Meira saat antek-antek Alexa sampai memenuhi jalan yang mestinya bisa dibagi untuk Meira lewat. Begitu Alexa berhenti, Meira turut berhenti.

"Hey, good morning fuck—ups." Alexa serta teman-temanya terbahak mengejek Meira, ia bahkan menatap manusia di depannya dari ujung kaki hingga kepala seolah menguliti Meira setiap centi.

"Lo tuh ngapain berdiri di situ, lo nggak lihat gue mau lewat ke depan, mata lo silinder?" Biasanya Meira jarang menggubris, kalaupun sesuatu terlontar dari mulutnya pasti ampuh membuat Alexa diam, tapi kali ini Mey merasa terganggu dengan tingkah rivalnya. "Udah ya, gue tuh mau cari temen-temen gue, jangan bikin darah tinggi pagi-pagi."

Alexa tersenyum sengit sembari memilin ujung rambutnya. "Gue emang mau bikin lo darting, Mey. Cuma, sesuatu yang lebih komersil karena udah dilihat banyak orang, lo nggak sadar kenapa mereka semua banyak yang ngelihatin makhluk hina kayak lo ini." Tak ada pembatas bagi mulut Alexa, gatal kalau tidak menghina Meira, tapi rivalnya masih bergeming sembari bersidekap. Kalau ditanggapi Alexa makin jadi, perempuan itu merogoh ponsel dari cross body bag dan membuka sebuah berita yang tersebar luas di internet dimulai pagi ini.

Alexa memperlihatkan judul berita tersebut di depan Meira, dan berhasil membuat tangan perempuan berkemeja navy itu merebut ponsel Alexa. Pupil matanya melebar menemukan sesuatu nan membuat tubuh meremang, Meira sama sekali tak mengetahui apa-apa perihal berita panas yang menimpa dirinya di internet.

SEORANG MODEL MAJALAH DEWASA BERINISIAL MA MASUK DALAM DAFTAR ARTIS YANG TERSERET SEBUAH KASUS PROSTITUSI ONLINE MILIK MUCIKARI B.

Banyak orang menduga jika inisial MA yang dimaksud adalah Meira Aurora, tubuhnya seketika lemas melihat berita murahan seperti itu, sejak kapan Meira mendaftar sebagai pemuas nafsu sebuah prostitusi online?

Ia menelan ludah, ia merasa seperti ditelanjangi di depan banyak orang saat ini, apalagi smirk di wajah Alexa semakin membuatnya geram. Ia meraih tangan perempuan itu dan meletakan ponselnya di sana, tanpa mengatakan apa-apa Meira melenggang pergi, Alexa serta antek-anteknya tertawa melihat bagaimana mati gaya Meira sekarang.

Meira bergegas masuk ke toilet tanpa lupa menutup pintu rapat, ia mencari ponsel dari ranselnya, lantas mendial nomor Lolita, kenapa si manager sama sekali tak memberitahu Meira perihal kabar buruk seperti itu. Kenapa Meira malah tahu dari orang lain?

"Lol, elo—"

"Sabar, Mey. Sabar, gue tahu ini ada yang salah." Rupanya Lolita tengah mengurus sesuatu, tersirat dari perkataannya. "Lo tenang dulu ya, gue lagi cari pengacara buat urus ini, cuma ... mungkin sebentar lagi lo beneran muncul di infotainment. Gue juga kaget dapat berita nggak ada akhlak kayak gitu, rasanya spot jantung sampai mampus."

Meira meraup wajahnya, pening menyerang begitu saja, kepala seperti diremat kuat dari berbagai sisi. Tubuhnya yang sudah lemas sejak berdiri di depan Alexa kini meluruh terduduk di ubin toilet yang kering dan dingin. Helaan napas terasa berat untuk berlanjut, Meira tak ingin tinggal diam terhadap berita seperti itu.

"Mey, Mey. Lo masih di sana kan, Mey? Lo nggak bunuh diri kan? Hey!" Suara Lolita kembali terdengar.

"Iya, gue masih di sini kok. Badan gue lemes banget, Lol. Ini gimana?" Meira benar-benar cemas, perkara yang dihadapinya tentu berbeda, ia tak masalah jika hampir setiap hari mendapat olok-olok dari anak satu kampus, tapi cukup di Universitas Malaka saja yang membicarakan tentang dirinya, dan kasus yang kali ini ia hadapi lebih berat. Sebab membawa nama Meira ke jajaran artis sebuah prostitusi online, ia tengah membayangkan risiko apa saja yang bisa Meira terima karena hal tersebut.

"Lol, lo mau sewa pengacara siapa? Gue aja enggak punya duit, gimana mau sewa pengacara." Belum apa-apa Meira sudah putus asa, ia menyandarkan tubuh pada tembok di balik punggung, dalam sekejap Meira drop.

"Udah, Mey. Itu urusan belakang, yang penting masalah lo mesti ditutup dulu, lo jangan terlalu dibawa pikiran ya, gue yakin bisa secepetnya selesai kok."

"Gimana enggak gue bawa pikiran, Lol. Gue kan enggak gitu." Serendah-rendahnya Meira sampai semua orang meremehkan dirinya, ia tak pernah berpikir tentang jalan jalur prostitusi yang mudah meraup banyak uang tersebut.

"Lo lagi di mana sekarang?"

"Kampus, gue aja tahu berita kayak gini dari Alexa. Pantes semua orang kayak makin aneh ke gue, Lol. Gue takut kalau pihak kampus sampai dengar, gue enggak mau di DO."

"Mending lo pulang aja ke apartemen, Mey. Gue takut lo dapat perundungan dari warga kampus lo yang toxic itu, lo nggak akan bisa mikir pas kuliah nanti. Bisa kan?"

Meira bergeming, ia menggigit ujung kukunya sembari memikirkan sesuatu, semuanya sulit diterima. "Iya, gue habis ini mau pulang ke apartemen."

"Iya, Dear. Lo baik-baik ya, gue pasti usahain semuanya cepet kelar, nanti siang gue ke tempat lo. Banyak banget yang mesti dikerjakan."

"Oke, Lol. Lo juga hati-hati ya." Telepon mereka berakhir, Meira kesusahan menelan saliva nan terasa kasar, ia menengadah menatap langit-langit kamar mandi. Kenapa keadaan tiba-tiba kacau seperti ini?

Meira berupaya mencari jalan keluar dari tempat ini, ia yakin di luar sana orang-orang semakin melihatnya sebagai sesuatu yang hina, hanya satu manusia yang ingin Meira harapkan pertolongannya. Hanya saja belum sempat Mey mendial nomor Riska, sang kekasih malah sudah lebih dulu menghubungi.

"Hallo, Ka."

"Lo di mana?"

"Kamar mandi."

"Okey, gue ke sana. Jangan ke mana-mana ya, pokoknya jangan keluar dulu, biar gue sampai di sana. Take care." Riska mengakhirinya sepihak, dari cara bicara laki-laki itu sudah cukup menegaskan kalau Riska pasti tahu berita buruk yang menyatut nama Meira.

"Kenapa nasib gue jelek banget kayak gini sih, kenapa ada orang jahat yang begitu ke gue. Emang salah gue apa?" Meira mendekap sepasang lutut nan tertekuk, ia ingin menangis, sekarang.

***

TurtledoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora