Have fun, Meira.

933 118 15
                                    


Btw ini salah satu chapter favoritku, kalo kamu yang mana nih di sepanjang 50 chapter ini?

Satu lagi, udah ada yang pernah ke Bromo?

Me : DURUNG, REK 😆😆

***

Meira tak pernah menyangka akan melakoni perjalanan seperti ini, duduk berdua di dalam sebuah kereta yang sebelumnya tak pernah ia lakukan, untuk pertama kalinya Meira pergi jauh menumpang kereta api. Penyebab utama adalah Riska, semua yang mempersiapkan perjalanan mereka menemui Bromo adalah Riska.

Mereka berangkat dari Stasiun Gambir menaiki kereta Gajayana eksekutif sekitar pukul 17.40, dan kemungkinan sampai lima belas jam setelahnya alias besok pagi, kebetulan mereka sudah menempuh setengah perjalanan.

Meira duduk di dekat jendela sisi kiri, kondisi di dalam kereta terlihat sangat sepi, memang bukan tanggal merah atau long weekend yang biasanya menjadi masa paling menyenangkan untuk berlibur, lagipula kebanyakan orang pasti lebih senang duduk di dalam kursi pesawat dengan waktu tempuh yang lebih singat dari kereta api.

Dari ke-empat gerbong kereta yang mengarah menuju Malang, mereka berada di gerbong ketiga, jika dihitung hanya ada enam penumpang dalam gerbong tersebut, posisi duduknya juga sangat rumpang, Meira tak melihat di sisi depan, belakang atau kirinya ada penumpang lain.

Meira menyandarkan kepala di bahu Riska, ini benar-benar jauh lebih nyaman daripada menyandarkan kepala di punggung kekasihnya saat mereka menaiki motor, kali ini jauh lebih spesial bagi Meira. Pasalnya mereka tengah menjauhi hiruk-pikuk segala pelik Jakarta, jadi terasa lebih damai dan nyaman. Sungguh, Meira tak pernah menyangka akan ada satu hari ia bisa menyingkir sejenak dari kerumitan Jakarta.

Tangan mereka saling menggenggam tanpa ingin melepaskan seolah bumi pun tak mampu melakukannya, Meira menyukai semua ini meski terasa begitu asing. Ia tak pernah menyangka Riska akan mengajaknya menaiki kereta, Riska beralasan dengan menaiki kereta Meira bisa melihat suasana sekitar lebih lama, dan perjalanan mereka yang memang menjelang malam hari cukup membuat keduanya bisa beristirahat sejenak tanpa memusingkan harus sampai jam berapa.

Riska terlalu totalitas menjadi seorang kekasih, setelah Meira mengatakan agar mereka pergi ke Bromo sebelum hari ulang tahunnya esok hari, Riska lantas mempersiapkan semua—termasuk booking tempat penginapan yang lokasinya berdekatan dengan Bromo.

Lalu, di sini mereka berada, dalam suasana yang berbeda, tapi untuk rasa yang sama.

"Ssst, tidur gih, besok sampai sekitar jam sembilan pagi. Tidur sekarang biar enggak terlalu capek," tutur Riska saat Meira mempertahankan posisinya bersandar.

"Lama banget ya, Ka."

"Itu sensasinya, kalau naik pesawat lo cuma bisa lihat awan, nggak pernah kan lihat sawah sama kebo."

Meira tersenyum kecil, bagaimana bisa Riska seperti ini terhadapnya—begitu piawai menghapus duka, paling tidak liburan mereka disemogakan cukup ampuh membuat Meira melepaskan segala masalah dan meninggalkanya di Jakarta.

"Habis turun dari kereta, kita musti naik bus lagi soalnya."

"Ya ampun, gue udah berasa bener-bener jadi backpacker dalam sehari." Ia mengangkat kepala. "Jadi, lo kalau naik gunung di tempat yang beda-beda itu juga kayak gini?"

Riska mengangguk. "Gue juga pernah nyetop truk di pinggir jalan biar bisa sampai di penginapan waktu itu. Alam bebas ngajarin kita buat tumbuh dewasa, kalau lo cuma diem di satu tempat aja, polos alias nggak tahu apa-apa. Sedangkan dunia nggak pernah memihak sama siapa harus adil, alam bebas ngasih tahu kita kalau pelajaran hidup bisa ketemu di mana-mana."

TurtledoveWhere stories live. Discover now