Do you love me?

1K 138 25
                                    


"Mbak Mey! Mbak, Mbak Mey!" Beberapa kali Trias menggedor pintu, menggerakan kenop, tapi tetap tak bisa membuka pintu kamar Meira yang terkunci dari dalam sejak semalam. Biasanya tak pernah seperti ini, jadi Trias agak khawatir mengingat majikannya sedang sakit pasca kecelakaan, Trias takut terjadi apa-apa di dalam sana. "Mbak, Mey! Mbak? Mbak Mey di dalam kan? Mbak Mey nggak apa-apa, kan?" Wanita itu masih setia berdiri di depan pintu, menunggu seseorang membukanya agar kegusaran lekas lenyap.

"Gue enggak apa-apa, Mbak. Lanjutin aja kerjanya!" seru Meira dari dalam kamar, Trias bisa bernapas lega sekarang, ternyata majikannya membuka suara—sedikit mengurangi kecemasan Trias, wanita itu menyingkir dan melanjutkan pekerjaannya yang lain.

Sebenarnya Meira sudah terbangun sejak setengah jam sebelum Trias datang, tapi ia bertahan di posisinya berbaring di ranjang—memunggungi seseorang, posisinya miring ke kiri, seperti terakhir kali saat ia menarik kaki yang akhirnya menekuk lutut dan ia peluk dalam tidurnya malam tadi. Bedanya, selimut menutupi keseluruhan tubuh Meira yang masih naked di bagian bawah.

Meira hanya bergeming menikmati lamunan panjangnya, entah harus bagaimana, ia sudah melepaskannya. Jika bukan Meira mungkin ia sudah bergonta-ganti room mate sebab banyak laki-laki dengan sukarela melempar dirinya ke ranjang untuk menikmati malam bersama Meira, imagenya sudah sangat buruk, mungkin terdengar konyol, tapi ia benar-benar mempertahankan miliknya seperti orang suci. Padahal tidak sama sekali.

Meira menjadikan lengan kokoh Riska sebagai bantalan kepala, telapak tangannya yang kosong Meira arahkan ke wajah dan ia sentuhkan ke pipi, terasa begitu nyaman seolah dunia takkan bisa mengintimidasinya lagi. Ia sibuk mengingat perkataan Luna kemarin malam sebelum keputusan besarnya turut mengiringi, tapi mendengar pengakuan dari Riska memang bukan hal yang mudah, paling tidak Meira bisa mempercayainya, menjadikan Riska sebagai orang yang siap menampung segala pelik hidup Meira. Ia juga membuktikan satu hal pada Riska jika argumen orang-orang tentang dirinya adalah sebuah kesalahan.

Sebuah kecupan di bahu kanannya membuat Meira menyadari jika Riska juga sudah bangun. "Pagi," sapa laki-laki itu.

Meira memutar posisinya miring ke kanan menghadap Riska yang juga memiringkan tubuh ke kiri, mereka saling menatap dalam jarak yang hanya sebatas lima centi, ini tidak asing lagi bagi Meira. Riska masih membiarkan lenganya sebagai bantalan Meira, tangan lainnya menyentuh wajah perempuan itu, telunjuknya mengacung menyusuri setiap lekuk wajah Meira dimulai keningnya, melewati ruang antara sepasang mata, turun ke hidung dan terus meluruh menyentuh bibir, lantas berakhir di dagu.

Kini Meira melihat jelas seteduh apa tatapan laki-laki itu. "Riska."

"Ya?"

"Apa ada sesuatu di dalam sana?" Meira menyentuh dada telanjang Riska, tepatnya sisi kiri. "Sesuatu buat gue?"

"Ada, semua buat lo."

"Really? Apa nggak ada yang tersisa buat Luna?" Pertanyaannya terdengar konyol, dia masih memikirkan perasaan saudaranya, Meira tak terbiasa seperti ini—memikirkan perasaan gadis lain, jika ada laki-laki mendekat padanya ia sekadar menafsirkan kalau mereka mungkin tak memiliki pasangan, jadi bebas mendekati Meira. Salah jika ia bertanya?

"Ada, rasa sayang."

Meira mengangguk, ia menjauhkan tangannya dari dada Riska, mengubah posisi berbaring menghadap langit-langit kamar. Lampu memang belum menyala, tapi sinar matahari yang masuk melewati jendela geser kamar yang dibiarkan terbuka sejak semalam memiliki cukup cahaya untuk memperjelas keberadaan mereka.

"Lo ragu?" Tangannya menepikan surai di dekat telinga Meira, menatapnya dari tepi.

"Nggak tahu. Ini ... aneh."

TurtledoveWhere stories live. Discover now