Corn dog.

973 152 20
                                    


Masih kuat baca karya ini kalau nanti sampai 70 chapter?

***

Entah mengapa untuk pertama kalinya Meira merasa berat melangkahkan kaki saat harus turun dari motor Riska yang baru tiba di parkiran, bukan karena Meira mendengar cibiran orang-orang tentangnya, tapi mungkin lebih pada alasan tentang Meira yang harus menjelaskan hubungannya dengan Riska pada ketiga sahabat perempuan itu. Sejak Meira meninggalkan rumah Selly, banyak chat masuk mengusik ponselnya dari ketiga sahabat yang minta penjelasan, begitu Meira membuka ponsel tubuhnya terasa lemas dalam sekejap.

Riska melepas helm yang ia beli beberapa waktu lalu setelah helm lama ia biarkan hilang di TKP kecelakaan mobil Meira, laki-laki itu menyugar rambut seraya menatap spion, tapi saat menemukan wajah Meira seperti kebingungan dan tubuhnya duduk saja di jok motor—membuat Riska mengernyit.

"Kenapa?" tanya Riska, tapi tak disahuti sebab Meira terlalu hanyut dalam lamunannya. Tangan kanan Riska terulur ke belakang dan mencubit pinggang Meira, menyadarkan perempuan itu dari lamunannya.

"Aw! Sakit, Riska!" Ia menggerutu kesal dan turun dari motor seraya melepas pengait helm di bawah dagu, bibirnya mengerucut menatap Riska yang justru terkekeh menanggapinya.

"Iya sakit, tapi kalau enggak kayak gitu malah ngelamun sampai Arab, ada apa sih?" Riska turun dari motor, ia menerima helm yang Meira sodorkan dengan kasar di dadanya.

"Enggak apa-apa, malas aja ngampus hari ini. Bolos, yuk!" Alternatif paling gampang menghindari ketiga temannya memang membolos, tapi lihat bagaimana tanggapan Riska sekarang.

"Bolos? Siapa yang ngajarin lo bolos kuliah?" Bapak negara mulai berkutbah, alis tebalnya bertaut menatap Meira.

"Ya gue sendiri, lagian udah sering kok bolos, nggak usah dipusingin ocehan dosen kalau nilai turun, namanya juga sekolah. Nilai kan suka naik turun," sahut Meira begitu santai, ia menegaskan terbiasa melakukan hal yang jarang sekali Riska lakukan, jika memang pernah pun karena terpaksa alias urgent. Saat Meira merebut helm dari tangan Riska dan hendak memakainya, Riska lebih dulu merebut kembali benda itu dan menyembunyikannya di balik pinggang. Ia menunjuk Meira seperti guru yang siap memarahi murid bengalnya.

"Dengerin gue, nanti pas nilai lo tiba-tiba naik terus orang nuduh lo karena udah heaving sex sama dosen terkait, lo puas dengarnya?" Riska terlalu sering mendengar hujatan orang lain terhadap Meira sampai ia hafal seluk-beluk keboborkan perempuan itu di penjuru kampus, mungkin semua fakultas mengenal Meira dalam segi yang buruk.

"Ya enggak, kan lo udah tahu kalau gue—"

"Gue tahu, tapi orang lain nggak tahu," potong Riska, ia meletakan helm Meira di spion sebelum merangkum tangannya, menarik perempuan itu meninggalkan area parkir dan melangkah melewati halaman kampus hingga tiba di koridor utama tempat fakultas Meira berada.

Mereka menyusuri lorong yang panjang, entah apa yang Riska inginkan saat tangannya enggan melepaskan Meira, kedatangan mereka berdua menjadi bahan gosip baru bagi mahasiswi sekitar, selama ini Meira tak pernah dekat dengan mahasiswa di kampus, kalau pun ada mereka yang sibuk mengejar atau menggoda. Baru Riska yang berani menggandeng Meira dan melangkah di sampingnya, sengaja menekan hubungan mereka.

Meira mulai risi saat mendengar nama Riska menjadi buah bibir karena dirinya, jika hanya Meira yang disebut-sebut ia tak masalah, sudah biasa. Ini Riska turut dihubung-hubungkan seperti, 'masa sih Meira pacaran sama anak Mapala?', 'udah berapa kali mereka heaving sex sampai Riska mau sama Mey?'

Anehnya, Riska seakan tak peduli meski telinganya mendengar jelas semua cibiran itu, alhasil Meira yang sudah emosi dan ingin melabrak pemilik mulut-mulut pedas itu—menjadi mengalah saja dan meleburkan kekesalannya sesingkat mungkin. Memangnya kenapa kalau Meira punya pacar anak Mapala?

TurtledoveWhere stories live. Discover now