With daddy.

141 14 0
                                    


Tok-tok-tok!

"Iya, sebentar." Meira yang hanya mengenakan hot pants serta sebuah kemeja buru-buru meraih celana yang lebih layak dari lemarinya untuk mengganti hot pants nan terlalu aduhai jika dilihat siapa pun di luar sana, setelahnya Mey baru bergegas menghampiri pintu utama, menarik kenop dan menemukan raga seseorang yang membuatnya mematung.

"Mey." Pria itu tersenyum ramah, ia merasa senang bisa menemukan tempat tinggal putrinya setelah bertanya pada Riska. "Boleh papa masuk?"

Ekspresi keterkejutan Meira berubah datar, ia mundur membuka pintu lebih lebar sebatas mengisyaratkan telah mempersilakan Sehan masuk, pria itu melangkah ke dalam saat Meira kembali menutup pintu. Sehan duduk di sofa sembari meletakan shopping bag yang dibawanya ke permukaan meja ruang tamu, ia menatap sekitar, apartemen Meira begitu rapi ternyata.

Anak perempuannya ikut duduk di sofa yang berbeda, ia cukup kaget menemukan ayahnya tiba-tiba datang kemari, tapi bukan hal yang aneh—mengingat sebelumnya mereka pernah bertemu dan Sehan ingin mengetahui lebih jauh tentang putrinya.

"Mau minum apa?" tanya Mey terdengar kikuk dan lirih, ia canggung menghadapi ayahnya sendiri seperti ini.

"Nggak usah, papa cuma mau lihat keadaan kamu aja."

"Okey." Sebisa mungkin Meira bersikap normal meski rasa ingin meninggalkan jauh lebih besar.

"Papa dengar kamu habis dari Bromo sama Riska? Kemarin papa ajak Riska ketemu sebentar. Kenapa Mey nggak bilang kalau mobilnya rusak karena kecelakaan?"

Gadis itu terpejam sembari menarik napas dalam-dalam, kenapa Riska mengatakan perihal mobilnya pada Sehan, ia pikir laki-laki itu akan diam—alias tak perlu membuka masalahnya pada Sehan.

"Biar apa?" Mey balik bertanya.

"Papa bisa belikan kamu mobil yang baru."

"Enggak perlu, aku bisa cari uang sendiri kok, tinggal di sini aku juga bayar sendiri. Papa nggak perlu cemasin aku, seharusnya."

"Mey—"

"Pa, aku baik-baik aja, makasih banyak atas perhatiannya, tapi biarin aku dengan kehidupanku. Papa urusi istri yang lagi sakit, kasihan. Rendra juga, masih ada orang lain yang perlu diperhatikan."

"Mey—"

"Please." Meira sampai mengatupkan telempapnya agar sang ayah tak perlu memohon untuk memberi apa pun lagi terhadap gadis itu, sebab ia merasa bukan lagi menjadi prioritas, ketika rasa percaya yang diutuhkannya sejak lama pecah seketika, Mey tak bisa berbuat apa-apa. "Tolong, Pa. Ini permintaan, aku nggak butuh apa-apa, aku bisa cari sendiri, beli sendiri. Jangan khawatir sama aku."

Sehan mengembuskan napas kasar, sepasang bahunya merosot menanggapi kukuhnya keputusan sang putri untuk menolak. "Okey, papa nggak akan memaksa lagi, maafin papa." Gadis di dekatnya mengangguk. "Cuma, kalau kamu menolak mobil dari papa, semoga kamu enggak menolak ajakan papa buat makan malam berdua, Mey." Wajahnya dipenuhi binar harap, mendapat sebuah persetujuan dari Meira seperti berlomba-lomba mengejar rembulan, terlalu sulit, tapi jika Sehan tak pernah berupaya—maka tak perlu mengharapkan apa-apa.

Meira bergeming sejenak, dialihkannya bola mata dari sang ayah, gadis itu ingat hari ini hanya menikmati makan siang saja, kulkas juga kosong oleh dissert yang biasanya melimpah, Meira baru menyesali perbuatannya yang tak lekas mencari isi kulkas hingga perutnya berakhir keroncongan seperti sekarang, tapi sepertinya Sehan tak mendengar.

"Gimana, Mey? Apa papa berhak mendapat kesempatan itu? Makan berdua bersama putri papa."

"Iya."

***

Hanya restoran cepat saji dengan brand terkenal yang berasal dari Amerika nan berlokasi di sekitar apartemen, jadi mereka hanya berjalan sebentar hingga bertemu restoran waralaba yang menduduki peringkat kedua terbesar di dunia tersebut.

Sebuah krispy burger, french fries serta segelas coca cola di masing-masing nampan. Meira tampak bergairah menikmati makanannya, apalagi rintik hujan mulai turun menyentuh setapak Jakarta, di luar sana saat kerumitan banyak orang yang memutuskan bergerak cepat menghampiri tempat-tempat beratap.

Anak dan ayah tersebut duduk bersebrangan, meja persegi menjadi pembatas mereka, di sisi kiri Meira berada kaca tebal yang membuatnya bisa melihat keriuhan aktivitas banyak manusia di luar sana, tapi atensi Mey lebih tertarik pada krispy burger yang kini ia nikmati tanpa peduli apa-apa lagi, bahkan saat sang ayah menjepret foto candid gadis itu, untung saja kamera tak memperdengarkan suara. Jadi, Meira takkan tahu perbuatan Sehan nan tersenyum menanggapi betapa lahapnya sang putri makan.

Pria itu sesekali mencelupkan kentang goreng pada saus yang tersedia, asal terlihat sedang makan saja di depan Mey, padahal Sehan sama sekali tak lapar. Rupanya ide yang tercetus tiba-tiba di kepala untuk mengajak Meira makan malam benar-benar menguntungkan, meski bukan di restoran mewah bintang lima, tapi momen seperti ini sangat berharga.

Meira meneguk coca cola miliknya sembari menatap Sehan yang tersenyum menyadari lirikan gadis itu, Meira kentara canggung, untung saja makanannya menjadi alasan gadis itu beralih dari awkward yang berlangsung.

"Kamu kalau makan selalu lahap, papa ingat itu, Mey. Tapi, badan kamu enggak pernah bisa gemuk, lucu sekali."

Kunyahan di bibir Meira memelan, ia mengangguk menyetujui sang ayah. "Mungkin faktor keturunan, atau karena beban pikiran." Memang sengaja menyindir, toh sedari kecil sudah disuguhkan pemandangan orangtuanya yang rajin bertengkar, memoar kelam.

"Mengubah keadaan memang nggak mungkin, tapi papa akan selalu meminta maaf tentang itu, Nak. Papa menyayangi kamu, tapi kehidupan kita sama-sama enggak mudah, kalau papa tahu Ashila seperti itu—papa kukuh mempertahankan hak asuh kamu, karena papa pikir kalau hidup dengan seorang ibu lebih mudah. Maaf—"

"Udahlah, semuanya udah selesai bertahun-tahun lalu, menyesal nggak akan bikin ini selesai, menyesal cuma berakhir ucapan. Aku baik-baik aja, aku hidup normal dan bisa bernapas seperti orang lain, it's a great job." Burger kembali membuat bibirnya bergerak aktif sampai mengembung tatkala intensitas hujan di luar sana justru kian menderas, padahal mereka tak mempersiapkan payung sebelumnya. "Harusnya sekarang Papa makan juga burgernya, kentang segitu nggak bikin kenyang, atau lagi diet?"

Pertanyaan Meira membuat Sehan refleks menyentuh burgernya, seperti perintah yang mesti pria itu turuti—ia mulai menikmati kunyahan pertama sembari tersenyum tanpa ingin beralih dari gadis kecil yang sudah beranjak dewasa meski memiliki banyak sayatan luka.

Hujan di luar sana semakin menenggelamkan mereka pada aktivitas makan malam dadakan kali ini, keberanian Sehan untuk menemui Meira di tempat tinggalnya membuahkan hasil yang manis meski sikap gadis itu masih terlihat dingin dan kaku, beradaptasi dengan sesuatu yang pernah melukai memang tidak mudah, tapi Meira mungkin belajar dengan kata 'terbiasa' dan mengakrabkan diri, berteman baik dengan hal tersebut.

Sehan tahu, ia mesti memulai cara pendekatan perlahan dan tak bisa memaksa, secepat kilat. Apalagi kepercayaan Meira yang menjadi tujuan terbesarnya, gadis itu mesti ditarik pelan agar bisa Sehan rengkuh lagi seutuhnya.

***

TurtledoveWhere stories live. Discover now