Not a Hellboy.

1K 124 4
                                    


Berkali-kali tubuhnya bergerak ke segala arah hingga seprai yang membalut ranjang besar gadis yang mengenakan hot pants serta kaus oversize menutupi lututnya terlihat lusuh, acak-acakan. Ia bukan tengah melakoni adegan erotis bersama pasangannya di depan kamera—meskipun banyak orang selalu saja menganggap Mey keblabasan untuk segala hal sampai-sampai meminta tambahan nilai pada dosen pun dikaitkan dengan hal itu. Mey hanya sedang gelisah meski kelopak matanya masih terpejam, ia mungkin mimpi buruk sampai-sampai tak tenang melakoni tidurnya di Minggu yang sudah menginjak pukul delapan pagi itu.

Ketika Mey membuka kelopak mata dengan posisi tubuh terlentang di tengah ranjang—sepasang telempapnya terkepal sebelum meninju permukaan ranjang berkali-kali seraya menggerakan kakinya seperti bayi yang merengek meminta minum susu saking tak sabarnya. Namun, dia Meira dan bukan bayi.

"Maksudnya apa sih!" Mey berteriak seraya beranjak duduk, ia mengacak rambutnya hingga terlihat lebih mirip seperti orang gila. "Kenapa mimpi begituan datang ke tidur gue, apa nggak ngerti kalau Minggu adalah waktu paling berharga dalam kehidupan gue? Sialan emang." Mey mendorong selimut yang posisinya sudah tak keruan menggunakan sepasang kakinya. "Bisa nggak sih kalau Minggu gue bangunnya besok Senin pagi aja biar waktu berharga gue yang cuma sedikit itu nggak terbuang sia-sia, dunia emang nggak pernah adil."

Mey beranjak dari ranjang, lengan sisi kiri kaus oversize yang dipakainya sampai melorot dan perlihatkan tali bra hitamnya, terserah apa kata tembok di kamarnya sekarang. Mey tak pernah bertingkah sok perfectionist jika berada di apartemen seorang diri, ia bisa bertingkah sesuka hati termasuk mengubah apartemennya yang selalu dibersihkan oleh housekeeper menjadi kandang sapi. Toh, slogan Mey selalu tentang 'kalau sudah dibayar, tapi tak dipakai, untuk apa dibeli?' Jadi, sabarlah bagi housekeeper yang selalu datang ke apartemen Mey setiap pagi dan pulang kala sore hari.

Mey memutuskan memasuki kamar mandi dan melakukan rutinitas paginya yang membosankan, ia merasa harus melompat lagi ke ranjang dan melanjutkan istirahat untuk beberapa jam ke depan, harusnya.

***

"Mey udah bangun, kan?" Asep nama aslinya, tapi ia mengubah sendiri menjadi Lolita, dia manajer Mey yang bentuk tubuhnya benar-benar seperti pria, sayang sekali begitu kemayu dan lemah lembut.

"Ada, kayaknya sudah bangun, tadi saya buka kamar dengar suara air di kamar mandi," sahut Trias—tukang bersih-bersih apartemen Mey yang baru saja membuka pintu utama, ia cukup mengenal Lolita dengan baik. "Silakan masuk, mau minum apa, ya?"

"Gue mau—"

"Jangan dibuatin!" Suara lantang Mey membuat Lolita dan Trias refleks menoleh ke sumber suara, pemilik apartemen sudah menyulap wajah bangun tidurnya yang kusam dan berminyak menjadi cerah berbinar setelah serangkaian ritual yang cukup menyita waktu, khususnya bagi kaum adam. "Mbak Trias lanjutin kerja aja, terus si Asep biar pulang aja. Gue ogah hari Minggu suruh kerja." Ia memang cukup pongah, apalagi jika sudah memvonis sesuatu pada orang lain.

"Asep? Gue secantik bidadari, jadi jangan asal sebut ya, Mey." Lolita membela diri, ia sudah duduk di sofa ruang tamu saat Trias cengar-cengir seraya meninggalkan ruangan itu.

"Lo ngapain ke sini? Gue bilang kalau Minggu kosongin jadwal pemotretan, lo mau gue mati muda?" Oke, Mey tak perlu memakan sambal lebih dulu agar perkataannya terdengar pedas, mungkin bawaan sejak lahir. Ia yang sudah begitu rapi dengan kostum kasualnya bergerak menghampiri Lolita seraya berkacak pinggang, Mey yang jarang sekali mengikat rambutnya kini melakoni hal itu.

"Ya ampun, Mey. Gue kali yang bakal mati muda kalau elo marah-marah terus, nggak elegan banget deh." Gaya kemayu Lolita begitu khas, ia menumpukan paha kanan di atas paha kiri begitu anggunnya, tapi tuan rumah terbiasa dengan segala sikap nyeleneh manager ajaibnya itu.

TurtledoveWhere stories live. Discover now