Silent.

815 135 20
                                    

Tak banyak yang berubah selama tiga hari terakhir meski ia baru saja benar-benar melepaskan seseorang, mungkin lebih tepatnya membiarkan ia pergi tanpa ingin menahan atau dipertahankan, tapi kertas berisi sederet bahasa perjanjian dengan cap nokta...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tak banyak yang berubah selama tiga hari terakhir meski ia baru saja benar-benar melepaskan seseorang, mungkin lebih tepatnya membiarkan ia pergi tanpa ingin menahan atau dipertahankan, tapi kertas berisi sederet bahasa perjanjian dengan cap noktah darahnya tetap tersimpan rapi di dalam laci kamar. Tiga hari setelah pertemuan terakhir mereka di ujung koridor rumah sakit—semua tetap baik-baik saja, Meira menjalani aktivitas normal—entah saat berada di kampus atau pemotretan—yang biasanya ada Riska di samping gadis itu, bedanya hanya ia lebih sering sendirian.

Seharusnya seperti itu, Riska mungkin hanya singgah, hanya menjadi tamu yang akan pamit setelah isi cangkir keramik yang disajikan tuan rumah telah habis, ternyata setiap teguknya menyimpan cerita-cerita penuh makna. Bagi Meira semua hanya lelucon, cinta yang tak mampu terbalaskan mungkin hanya mainan, hanya sebuah ungkapan tanpa makna apa-apa di dalamnya, sebab mencintai seseorang yang mengaku—takkan pernah didapatkannya adalah nyanyian tengah malam, ia tak lagi ingin mendengarkan.

Mungkin Meira juga tak tahu jika laki-laki yang tak lagi terlihat oleh bola matanya tiga hari belakangan tengah berada di Bali bersama teman-temannya untuk melakoni agenda diving, memang anak Mapala memiliki banyak agenda dengan alam.

Sejak pulang dari rumah sakit tempo hari, Meira tak ingin bertemu Luna atau siapa-siapa lagi, ia juga sudah mengganti kode masuk apartemennya, hanya Trias saja yang tahu sekarang. Kehidupan Meira kembali seperti semula—saat tanpa Riska, sebab Riska hanyalah sebuah angan, dan Meira benci harus terus berangan-angan.

Perempuan itu duduk di depan meja rias ruang wardrobe studio foto, ia baru saja menyelesaikan pemotretannya, Meira tampak menunduk seraya memangku majalah fashion. "Ikat tinggi aja rambut gue," tutur Meira pada Metta.

"Tumben, biasanya senang digerai, Mey. Ah ya, gue mau tanya sesuatu."

"Tanya aja."

"Lo udah putus lagi dari Riska?" Pertanyaan Metta membuat Meira mengangkat wajah dan menatap pantulannya di cermin, ia tak senang mendengar pertanyaan tersebut. "Ada yang salah, ya, Mey?" Metta tersenyum canggung, ia mengumpulkan semua rambut Meira menjadi satu dan mengikatnya tanpa mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi, sebab ekspresi Meira langsung berubah.

Setelah Metta menyelesaikan pekerjaannya, Meira menutup majalah dan meletakan benda tersebut di permukaan meja rias, ia meraih tasnya—menyingkir dari hadapan Metta tanpa mengatakan apa-apa.

"Sekarang Meira sensitif banget, ya," gumam Metta saat pandangannya tak lagi menemukan Meira di ruangan itu.

Ponsel berada dalam genggaman, sampai hari ini masih saja beberapa orang sibuk mengharapkan kedatangannya untuk kencan buta, tapi Meira bahkan tak menjawab, padahal ia tak lagi memiliki urusan dengan Riska—yang pernah memintanya untuk tak melakoni blind date lagi.

Ia keluar menghampiri mobilnya di parkiran, masuk ke sana dan tancap gas tanpa ingin memikirkan apa-apa lagi. Sore ini langit terlihat begitu cerah, pukul empat seperti pukul dua belas siang saja, keadaan juga ramai seperti biasa, tapi mungkin rasa sepi membelenggu seseorang sampai mimik wajahnya tak pernah berganti sejak mendengar pertanyaan Metta tadi.

TurtledoveWhere stories live. Discover now