Womanizer.

955 135 5
                                    


"Mey, lo nggak apa-apa, kan? Kalau kepala lo ada yang sakit atau retak bilang aja, biar gue hajar si Riska sampai mampus!" Rayi berusaha mengajak Mey berbicara di sepanjang langkah mereka menyusuri koridor lantai utama gedung fakultas ekonomi, tapi gadis cantik yang diajaknya bicara justru diam seraya memperhatikan sekitar seolah mengamati sesuatu, biasanya Mey tak acuh terhadap berbagai hal di dekatnya, tapi pagi ini ia tertarik untuk membiarkan bola matanya mengeksplor hal sekitar. "Mey, nanti malam kita bisa jalan nggak?"

Meira menghentikan langkah dan menoleh, tanpa aba-aba ia menginjak kaki Rayi yang terbalut sepatu itu menggunakan heelsnya hingga si pemilik kaki mengaduh kesakitan.

"Nanti malam semoga lo nggak bisa jalan, kalau gue jelas bisa," ucap Mey penuh penekanan sebelum melenggang cepat meninggalkan Rayi yang tak bisa mengatakan apa-apa, punggung kakinya terasa sakit oleh tindakan Meira.

***

"Lo habis jam kelar ada kerjaan ya, Mey?" tanya Tania yang duduk di sebelah kiri Meira. Empat sekawan itu berada di kafetaria pagi ini, dua di antaranya menikmati segelas kopi, tapi bukan Meira tentunya.

"Iya. Kenapa emang?" Bibir Mey memang berbicara, tapi penglihatannya tak mengarah pada Tania, posisinya begitu strategis untuk menatap pintu kafetaria yang terbuka lebar, entah siapa yang ia harapkan bisa lewat di sana. Jika itu Riska, mustahil. Mereka berbeda fakultas, di tempat Riska berada terdapat kantin lain yang lebih luas.

"Gue, Mona sama Selly mau ke acara opening butik mamanya Selly yang baru. Bisa ikut enggak?"

"Kalau pemotretan gue kelarnya tepat waktu kemungkinan besar gue bisa datang," tutur Mey, tatapannya masih terarah pada pintu masuk kafetaria.

"Elo nungguin siapa, Mey? Dari tadi yang dilihat pintu aja, lo lihatin siapa?" Diam-diam Mona memperhatikan gerak-gerik sahabatnya, ia meraih cangkir di meja dan meneguk isinya sedikit.

"Bukan siapa-siapa." Mey beranjak. "Gue ke toilet dulu sebentar, ya." Ia tersenyum canggung sebelum bergegas meninggalkan teman-temannya.

"Itu anak kenapa, sih? Gelagatnya mencurigakan," tutur Mona, ia serta dua teman lain menatap kepergian Mey hingga gadis itu tak lagi terlihat, kali ini tanda tanya mulai bermunculan di benak masing-masing.

Si pelaku yang seharusnya memberi jawaban justru melarikan diri, ia juga mulai berbohong pada teman-temannya saat tak pergi menuju toilet seperti alasannya tadi, Mey justru mengarah ke fakultas lain yang jaraknya cukup jauh dari fakultas tempat Mey bernaung.

Meira kembali menarik perhatian beberapa mahasiswa yang baru keluar dari sebuah ruang tempat perkumpulan para anggota Mapala Universitas Malaka, kebetulan pagi ini mereka baru saja melakoni gladi resik untuk persiapan sebelum pendakian di Gunung Gede Pangrango esok hari, tentu saja tujuan Mey cukup jelas mengapa ia sampai di tempat yang sejatinya lebih ramai akan kehadiran laki-laki, bukan tentang Mey yang ingin tebar pesona. Namun, alasannya sampai nekat ke sana adalah untuk laki-laki yang keluar paling akhir dari ruangan itu, tapi rupanya di belakang Riska ada beberapa mahasiswi yang kebetulan mengikuti Mapala juga.

Ekspresi yang sempat kentara senang berubah drastis, Mey mengerucut sebal. Pertanda apa ini?

"Lo Meira itu, kan?" tanya salah satu mahasiswa yang masih bertahan di sana, tatapannya mengarah dari ujung kaki hingga wajah Meira, bisa diterka jika mahasiswa itu pasti terpesona. "Gue Haikal." Tanpa aba-aba dia mengulurkan tangan, tapi Mey sama sekali enggan menatapnya dan justru melenggang begitu saja menghampiri Riska yang terlihat berbincang dengan lima mahasiswi pengikut Mapala tadi.

"Jadi, besok kita langsung kumpul di Basecamp intinya ya, pokoknya on time. Gue paling nggak suka keterlambatan," pinta Ajeng—salah satu di antara lima mahasiswi itu, ia berdiri di sisi kiri Riska.

TurtledoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang