Threat.

836 144 12
                                    

Sekarang aku mau nodong vote yep, 30 vote buat chapter selanjutnya, kalian semua kan baik—aku yakin bakal tepat target ❤❤

Btw, chapter ini ada actionnya, dikit.

***

Masih sama, rasanya tetap saja nyaman saat ia menggamit lagi tubuh seseorang dari belakang, menyandarkan kepala di punggungnya yang lebar. Kali ini ia melepas rasa canggung, terserah pada urusan si pengemudi yang merasa risi atau sebaliknya, yang penting Meira senang bisa memeluk Riska lagi dari belakang saat ia membonceng motornya. Bukankah boleh membahagiakan diri sendiri? Lagipula keinginan Meira tak pernah muluk-muluk, sebanyak apa materi yang ia miliki, setenar apa dirinya di mata publik tetap belum membuatnya merasa bahagia. Ia hanya hidup dengan nyaman, tapi tidak benar-benar senang.

Sepertinya Riska memang berniat menjemput Meira, buktinya ia membawa helm lain yang kini terpasang di kepala perempuan itu. Entah jam berapa Riska pulang, yang jelas saat Trias datang laki-laki itu sudah tak ada di sofa ruang tamu lagi, hanya tersisa selimut yang sudah tertata rapi, cangkir serta piring kosong di permukaan meja. Trias menjadi bertanya-tanya lagi, apa yang membuat majikannya lembur malam?

Jauh dari posisi keduanya, macet mulai melanda Jakarta pagi ini, untung saja Riska hafal jalan alternatif menuju kampus meski area sepi dengan hamparan kebun kosong di sisi kanan dan kiri, pagar kawat mengelilingi tempat tersebut dengan juntaian kabel kecil terpasang di atasnya, tertulis di sebuah papan yang tertancap di bagian depan kebun semacam Tanah Ini Milik Pemerintah.

"Gue nggak pernah tahu daerah ini," ucap Meira seraya menyandarkan dagu di bahu kiri Riska, ia memperhatikan sekitar.

"Ya kan karena lo emang nggak pernah lewat sini, lagian lumayan sempit kan kalau dilewati mobil," sahut Riska seraya fokus mengemudikan motornya.

"Iya juga sih."

"Kalau kata orang-orang daerah sini angker, banyak korban begal yang tewas di sini," tutur Riska.

"Terus, kenapa kita lewat sini? Lo nggak takut dibegal juga?"

"Hampir setiap hari gue lewat sini, pulang pergi dan nggak ada apa-apa." Riska mengedik bahu. "Gue lebih seram dari tukang begal mungkin."

Motor baru saja keluar dari area sepi tersebut, tak ada satu pun rumah berada di sana, mungkin hanya beberapa kendaraan bermotor yang lewat, itu pun bisa dihitung dengan jari. Kini mereka memasuki kawasan yang cukup rindang dengan sisi kanan kiri ditumbuhi pepohonan, kebanyakan diisi oleh pohon pinus, bahkan daunnya yang jatuh berserakan di jalan. Jadi, ketika kendaraan melaju kencang melewatinya otomatis daun-daun tersebut seperti ikut ditarik meski kembali terhempas lagi.

Maklum saja, tak ada tukang sapu jalanan berada di kawasan tersebut, apalagi posisinya jauh dari jalan besar, jadi orang akan berpikir lagi untuk bekerja di area yang sepi. Sekitar lima puluh meter lagi mereka akan tiba di kampus, tapi Meira tak pernah ingin berhenti di mana pun dan kapan saja, ia ingin tetap berada di sana—membonceng Riska seraya menggamit tubuhnya.

Beberapa waktu lalu suasana terlihat sunyi dan menghanyutkan, tapi kini suara deru tiga motor di belakang mereka membuat keheningan lesap, Meira mengangkat kepala dan menoleh setelah ia merasa kenyamanannya terganggu oleh suara mesin tersebut. "Itu mereka kenapa sih, di sini kan nggak ada balapan, ngapain naik motor pakai digeber-geber segala, jalan nenek moyangnya apa!" gerutu Mey begitu kesal.

"Diemin," sahut Riska, ia mengemudi dengan kecepatan yang stabil sebab Riska berpikir jika orang-orang di belakang mereka pasti akan menyalip, sayangnya apa yang ia perkirakan adalah sebuah kesalahan. Motor-motor tersebut tak menyalip kendaraan Riska—melainkan mengapit posisi motor Riska dari segala sisi.

TurtledoveWhere stories live. Discover now