Terluka itu perlu

37 12 4
                                    

"Ayah bercanda! Saudara Awan cuma satu! Dan itu cuma kak Angkasa !"

"Awan, tapi inilah faktanya."

"Fakta?"

Aku tetawa miris mendengarnya. Pria itu bilang ini adalah sebuah fakta? Pintar sekali mereka menyembunyikan sebuah kebenaran.

Baru saja aku mempercayai Ayah tapi dia sudah berhianat lagi. Ayah macam apa dia?

"Ada yang bisa cerita, ini ada apa?!" teriak Kak Angkasa yang sepertinya sudah menahan emosinya dari tadi. Akhirnya laki laki itu mengeluarkannya sekarang.

Semua orang disini bungkam. Mereka tidak ada yang mengeluarkan suara. Ayah hanya diam berdiri. Sementara Bunda, dia terduduk di sofa dengan raut wajah datar yang tak bisa diartikan. Dia terus menunduk menatap lantai yang dingin. Aku tahu dia tengah menahan untuk tidak menangis. Aku tahu dia hanya ingin berpura pura terlihat kuat.

"Ayah, Angkasa sekali lagi bertanya ini ada apa?!"

Ayah menatap kakaku itu. Dia menghampiri Kak Angkasa yang berada di sebelahku. Kalian tidak akan mengerti bagaimana perasaan kami berdua. Sakit. Sakit sekali.

Ayah memengang pundak Kak Angkasa. Dia masih juga menunduk tak berani menatap wajah anak sulungnya itu. Ayah sudah menangis dari tadi. Air mata yang bening itu sudah menuruni wajahnya yang di penuhi kerutan kerutan halus. Dia tersedu sedu. "Maafkan ayah."

Kalimat itu seolah hanya angin lewat. Tak ada respon dari Kak Angkasa. Aku tahu rasa sakitnya Kak Angkasa. Dia selalu percaya pada Ayah karena dia menganggap Ayah adalah orang jujur dan tidak mempunyai rahadia apapun. Tapi hari ini dia seperti ditampar kenyataan.

"Ayah penghianat." hanya itu yang keluar dari mulut kak Angkasa. Terdapat banyak penekanan saat dia berkata demikian.

Kak Angkasa menyingkirkan tangan Ayah yang masih berada di pundaknya. Dia memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Entah pergi kemana, intinya dia sangat marah sekarang.

Aku hanya menatap Ayah tak percaya saat dia menatapku. Kembali muncul rasa benciku pada Ayah. Melihat wajahnya saja tidak ingin.

Aku menghampiri Bunda. Menarik tangannya dan membawa Bunda pergi dari sini. Biarlah dua orang tak tahu diri itu saling menganalisa kesalahan mereka satu sama lain di sini.
Aku hanya ingin membawan Bunda ke kamarku saja.

"Ayo Bunda."
Bunda menurut. Dia mulai melangkah pergi dan menuju ke kamarku.

Di kamar, bunda masih diam
Dia masih berusaha tegar dengan tidak menangisi ke adaan.

"Bunda kalau mau nangis nangis aja. Mendem itu sama aja ngundang penyakit baru."

Bunda menatapku sendu. Pertahanannya akhirnya goyah. Dia memelukku dan menangis di bahuku. Aku mendekap bunda erat dan memberi kehangatan pada perempuan yang sangat ku sayang itu.

Tangisan Bunda mereda. Dia melepaskan pelukannya dan berusaha tersenyum tegar walau terlihat begitu getir.

"Bun, Ada apa ini Bun? Ini ada apa?" tanyaku yang mulai serius.

Bunda menatapku, mengelus rambutku. Tangannya yang berada di rambutku mulai bergerak ke pipi ku dan menghapus satu persatu bulis air mata yang nampak mengalir disana.

"Oke kalau bunda gak mau cerita gak papa. Awan akan nunggu sampai bunda mau cerita."

"Bunda mau cerita." ucapnya serius.

☁☁☁

Malam itu, sebuah pernikahan sederhana akan berlangsung di sebuah rumah yang juga terlihat sederhana. Tak banyak tamu undangan yang hadir. Hanya beberapa anggota keluarga yang penting saja yang terlihat memenuhi ruangan keluarga itu.

AwanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora