Penumpang Rahasia

55 31 4
                                    

"Siapa Dia?"

"Temen."

"Ada ya sama temen pelukan gitu?"

"Dia maksa."

"Kenapa gak pergi kalau dia maksa?"

"Maaf."

Lagi lagi hanya kata maaf yang bisa mulutku keluarkan. Aku hanya bisa bugkam mendapatkan begitu banyak pertanyaan darinya.

Haidar membawaku pada sebuah tempat yang biasa ku sebut sebagai puncak bintang. Karena biasanya, pada malam hari kita bisa melihat bintang bintang berhamburan indah di langit ini tanpa terhalang apapun.

Tapi sekarang ini sore, tak ada nuansa keindahan sama sekali di tempat ini. Yang ada hanya awan yang mendung dan udara dingin yang menusuk kulitku.

Haidar tak duduk di sebelahku. Tapi dia berdiri di depanku. Dia juga tak menghadapku tapi dia meghadap awan kelabu nun jauh di sana.

Aku hanya bisa terduduk pilu di bangku ini. Air mataku tak henti hentinya menangis. Sakit rasanya Haidar mendiamkanku seperti ini.

"Haidar," panggilku haru.

Haidar tak menggubris panggilanku. Dia menghampiriku dan duduk di sampingku. Dia menatapku penuh arti dan emosi.

"Kamu diapain aja sama dia?"

Aku menggelang tak mau menjawab pertanyaan Haidar yang satu ini.

"Jawab Ta!"

Tangisku makin pecah ketika dia membentakku. Tak pernah sekalipun dia membentakku seperti sekarang ini. Apakah dia semarah itu padaku?

Haidar menggeserkan tubuhnya mendekatiku. Dia tiba tiba memelukku dan meminta maaf padaku.

"Maaf aku terlalu membentakmu," ucapnya seraya mengusap lembut helaian rambutku.

"Kenapa kamu minta maaf? Aku yang salah,"

"Aku yang salah Ta. Aku gak bisa jaga kamu dari cowok gak berotak itu."

Aku melepaskan pelukanku. Haidar nampak bingung dengan aku yang tiba tiba melepaskan pelukanku itu.

"Ada apa?"

"Aku mau jujur satu hal sama kamu."

"Apa?"

"Tapi kamu jangan marah."

"Aku gak bisa janji."

"Tapi aku takut kamu marah."

"Ada apa sih?"

"Aku,"

"Apa?"

"Aku, aku pernah berciuman dengannya."

Haidar bungkam seribu bahasa. Dia tampak kaget dengan pengakuanku. Aku sendiri tak siap untuk mengungkapkan ini. Tapi, dari pada dia tahu dari orang lain, lebih baik aku memberitahukannya. Dari pada aku terus menyimpan rahadia yang selalu membuatku gelisah ini, lebih baik ku beberkn sekarang juga. Tak baik jika ada rahasia fatal di dalam suatu hubungan.

"Kita pulang," ucapnya dingin.

"Kamu gak marah?"

Haidar tak menjawab. Tapi ku rasa, dia marah. Atau mungkin sangat marah.

Haidar menarik tanganku menuju mobilnya. Tapi aku menghentikan langkahku dan membuat dia menengok ke arahku.

"Aku juga gak mau itu terjadi."

Aku tetap ditarik paksa oleh dia menuju mobilnya.

"Dia maksa."

Tapi Haidar tetap tak berkutik. Dia membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk.

AwanWhere stories live. Discover now