Si Manja

97 60 26
                                    

"Ya, semua punya rasa takut."

_____

"Kamu tau apa ketakutan terbesar ku selama ini?"

"Emm, kematian?"

"Bukan, semua orang pasti akan mengalami kematian. Aku paling takut jika aku sendiri. Aku takut jika semua orang dihidupku pergi. Aku takut jika aku harus terkurung bersama sepi."

"Aku tak akan membiarkannya terjadi."

"Dafa." sekelebat memori tentang masa lalu tiba tiba kini singgah dalam pikiranku. Membuatku kembali mengingat sosok itu. Sosok yang telah mempertemukanku dengan sepi dan sendiri. Kenapa dia selalu saja tiba tiba muncul di pikiran ini dan membuatku tak tenang?

Walau sudah kucoba menimbun masa laluku dengannya dalam dalam, tetap saja kenangan itu selalu ada dan membuat ku selalu mengingatnya di tiap tiap hariku. Aku tidak pernah bisa menghapuskan dirinya dari diriku. Ternyata hidup 18 tahun bersamanya tak bisa hanya dihapuskan dengan satu tahun saja. Itu tak akan cukup. Dan proses melupakan itu malah seperti hantu yang menggentayangiku dimanapun aku berada. Sebenarnya aku lelah dengan proses melupakan ini. Tapi kayaknya semesta gak mau manusia hidup semudah itu.

"Ada apa Uta?"

Tak ku gubris Haidar. Lamunan masih menguasai diriku. Lamunan itu dengan sengaja malah mengajakku bernostalgia pada masa yang telah berlalu dan membendung pilu.

Kupikir dengan seiring waktu, aku akan berhasil melupakan dia. Namun nyatanya tidak. Melupakan seseorang tidak semudah bernapas. Melupakannya adalah hal yang bukan kapasitasku namun harus kulakukan dan akibatnya membuatku terluka dan menyerah dengan rasa sakit yang tak terkira banyaknya.

"Uta. Kamu gak papa?"

Walau mungkin ada Haidar disini tapi tetap saja rasanya berbeda. Aku tahu Haidar lebih baik dari Dafa. Tapi yang namanya cinta itu gak bisa berlabuh sembarangan. Gak bisa berpaling gitu aja.

"Gak papa kok."

"Yakin?"

"Iya. Aku hanya sedang bernostalgia saja dengan rasa takut terbesarku. Tapi sudahlah. Aku tidak mau membahasnya."

Mungkin bagi sebagian orang bercerita tentang keadaan adalah hal yang membuatnya merasa lega dan menghilangkan beban. Tapi itu tidak berlaku padaku. Bercerita sama saja dengan membuka jahitan luka yang telah mengering. Dan itu, sakit.

"Baiklah kalau begitu. Aku tidak bisa memaksamu untuk bercerita tentang masa lalumu."

"Kenapa kamu selalu jadi orang yang paling ngerti selama ini?"

"Entahlah. Mungkin itu kelebihanku. Atau mungkin karena,"

"Eh, udah malem. pulang aja yuk! Nanti ayah marah. Ngomongnya besok lagi aja."

'Aku menyayangi mu.' batin Haidar melanjutkan ucapannya yang terpotong.

Haidar tak melanjutkan obrolan kita. Mungkin dia takut apa yang aku takutkan juga. Ya, apa lagi kalau bukan ayah marah kalau pulang terlalu malam.

Akhirnya Haidar mengajakku pulang. Ya, sedih sih harus meninggalkan tempat ini. Padahal masih sunset juga. Tapi apa daya, kita harus bergegas pulang sekarang.

Kita berdua mulai melangkahkan kaki menuju parkiran. Setelah sampai di parkiran, nampaklah motor pespa hijau toska yang antik itu. Aku dan Haidar mulai menaiki motor pespa itu dan dalam sekali gas, motor ini membawa kita pergi dari sini dan mulai berkendara lagi.

"Haidar sepertinya akan terjadi hujan. Awan sudah terlihat mendung sekali di atas sana."

"Kita tidak tau apa yang akan dilakukan semesta. Mungkin dia hanya sedang becanda saja sekarang ini. Sudahlah." jawab Haidar yang masih fokus melihat jalanan di depan sana.

AwanWhere stories live. Discover now