25.5 After The Butterfly Ending

471 143 9
                                    

You feel hurt? Even others suffer because of you

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

You feel hurt? Even others suffer because of you.

Happy reading


"Maaf aku tidak bisa tepatin janjiku untuk datang menonton pertunjukan kembang api bersamamu."

"Kamu tau? Bertemu denganmu adalah sebuah hal yang tak ternilai harganya."

"Kamu mau menjadi kekasihku?"

"Kamu adalah orang paling cantik setelah Bunda."

"Kamu—"

"Argh!"

Aku bangun dengan napas terengah-engah. Lagi-lagi mimpi itu datang dalam tidurku. Aku benci mimpi itu. Mimpi itu semakin membuatku tak bisa melupakan Park Jisung.

Mengingat namanya saja sudah membuatku kembali bersedih.

Tanganku terulur untuk mengambil segelas air putih yang ada di nakas. Setidaknya itu bisa membuatku sedikit tenang. Tak lupa aku juga menyambar tissue untuk mengelap keringatku yang bercucur deras.

Aku mulai bangun dan melangkahkan kakiku menuju meja belajar. Entah mengapa tubuhku mengarah kesana. Membuka laci dengan kunci tersembunyi lalu mengambil kotak hitam di dalamnya.

Mataku menatap sayu kotak itu kemudian membukanya perlahan. Menampilkan gelang—ah, bukan, mesin waktu bulan sabit yang pernah di berikan Jisung padaku.

Aku mengambil gelang itu kemudian menatapnya di telapak tanganku. Mataku kembali memanas saat seluruh kenang bersama Jisung kembali tergambar.

Bahuku mulai bergetar seiring tangisanku yang semakin kuat. "Jisung—kenapa! Jisung nggak pernah pergi! Dia di sini." Aku menundukkan kepalaku dalam, berteriak tertahan di tengah sunyinya suasana kamarku.

Aku menaikkan kakiku yang semula terkulai dibawah, memeluk kedua lututku erat seraya menenggelamkan wajahku di perpotongan lenganku.

Aku kembali meraung, saat hujan mulai turun dan kilatan guntur yang mulai bersahutan. Kali ini aku benci hujan— hujan dengan angin yang sudah membawa Jisung-ku pergi.

Rasanya... Hancur...

Grepp!!

"Sampai kapan lo kaya gini?" Kakakku yang tiba-tiba datang, lantas memelukku erat. Tangannya terulur untuk mengusap rambutku, yang ternyata malah membuat tangisanku semakin kuat.

"Sampai Jisung balik," gumamku lirih, dengan suara yang nyaris berbaur dengan dentingan air hujan.

Terdengar kakakku menghela napas pelan, "itu nggak mungkin terjadi, Erin."

"Gue mau temuin Bunda! Minta Bunda kembaliin Jisung dan jangan bawa di pergi."

Kakakku tidak menjawab ucapanku dan lebih memilih tetap memelukku semakin erat.

Tubuhku bergetar saat berusaha meredakan tangisanku, namun semakin parah saat aku berusaha berhenti. Berulang kali meraungkan nama Jisung, menggumamkan kata-kata mustahil yang ku tau tak akan pernah terjadi.

Aku tidak peduli. Aku hanya ingin Jisung kembali. Aku ingin Jisung.

"Dengan lo kaya gini, itu nggak akan buat Jisung balik."

Aku masih terdiam. Kemudian tangan kakakku terulur untuk menghapus sisa air mata di pipiku. Dia menangkup wajahku, menatapku dengan lekat. Lalu mengucapkan beberapa utas kata yang mampu menenangkanku dalam sekejap.

"Mau ikut gue pindah ke China? Setidaknya itu buat lo sedikit bisa lupain Jisung."

Di sela mataku yang sembab, aku mulai menatapnya. Kemudian kepalaku mengangguk, mengiyakan ajakannya. Setidaknya di sana, aku tak melihat tempat-tempat yang pernah menjadi kenangan kami.

Aku sudah sempat memikirkan ini dari lama, dan keputusanku mengatakan iya.

Aku sudah lulus sekolah, dan sekarang sedang dalam fase memilih perguruan tinggi. Aku akan melanjutkan sekolahku di China dan tak akan kembali ke Korea untuk beberapa tahun kedepan.

Mataku kini beralih menatap rintikan hujan yang menetes di jendela kamarku. Hujan itu mulai mereda seiring tangisanku yang juga telah selesai. Aku tersenyum simpul, membayangkan bagaimana Jisung pernah berdiri di bawah sana sembari menatapku.

Jika aku boleh meminta lebih kepada Tuhan, aku benar-benar ingin lelaki itu kembali. Dan kepada Dewa, aku mohon hidupkan kembali nyawa yang telah lenyap.

Lee Jeno, aku baru menyadari keberadaannya setelah lelaki itu pergi. Aku kembali tersenyum pedih saat mengingat bagaimana kami dulu pernah saling meledek dan terus bertengkar saat bertemu. Haha, lucu memang, tapi aku merindukan saat itu.

Dan untuk Park Jisung, kau benar-benar telah menjalankan tugasmu untuk melindungiku hingga saat terakhirmu, hingga— aku tak bisa melanjutkannya, ini benar-benar menyakitkan.

Tentang Janji Satu Mars, aku akan terus mengingatnya.

Setelah semua berlalu terlalu cepat, aku hanya bisa mengatakan bahwa aku sangat menyayangimu.

Pertanyaanmu malam itu, ya aku mau, sangat mau menjadi kekasihmu. Aku tau ini sudah terlambat, tapi, aku sangat ingin mengatakannya.

Sekali lagi, terimakasih Park Jisung.





.

[✔️] DEFEND LIGHT : portent | PARK JISUNGWhere stories live. Discover now