04. Old Member of The First Life

724 265 30
                                    


Bisakah aku mengembalikan senyum sang matahari, agar ia tidak marah dan mau menerang kembali?

- Park Jisung



Happy reading


Seoul, 2020

Eugghh!

Aku merasakan kepalaku kembali berdenyut, baru pertama kali aku merasakan kepalaku pusing luar biasa seperti ini. Pandanganku buram, karena menetralkan cahaya yang sedikit demi sedikit memasuki sela-sela mataku.

Setelah rasa peningku sudah sedikit mereda, aku baru menyadari. Aku terbangun di kamar orang lain, ini bukan kamarku. Seketika aku terperanjat, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari sesuatu yang bisa kutemukan.

Euhm, mungkin saja ini kamar Jisung, terakhir kali aku bersamanya. Setelah melihat kecelakaan itu, aku kehilangan kesadaranku dan tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Apakah Park Jihoon benar-benar tertembak?

"Masih pusing?"

Jisung tiba-tiba sudah ada di depanku, entah dari kapan dia ada di sana. Aku mendongak, pandangan kita bertemu, cukup lama. Sorot matanya terlihat jelas, netranya bening, matanya sipit, namun memiliki garis mata yang tajam.

Jika lebih diperhatikan, wajahnya cukup tampan. Dia tumbuh sangat cepat, dia terlihat dewasa sekarang, sangat jauh berbeda jika di bandingkan dulu. Jisung banyak berubah.

Aku memalingkah wajahku, canggung jika menatapnya lama. Sendari tadi jantungku sudah berdegup tak beraturan. Aku segera mencari topik pertanyaan random, agar tak terjebak dalam suasana canggung.

"Jisung, apakah ini di rumahmu?" Tanyaku refleks.

"Iya ini rumahku, kamu pingsan tadi. Aku tidak yakin mengantarmu pulang mengingat keadaanmu seperti itu. Yang ada aku kena pukul sama kakakmu, andai nekat memulangkanmu."

Jisung duduk di tepi ranjang dan membawa segelas air putih di tangannya. Kemudian memberikannya padaku. Cukup lama ia menahannya sampai akhirnya melepaskannya saat tanganku sudah terulur menyentuh gelas itu.

"Makasih," ucapku singkat lalu meminumnya. "Kamu kenal kakakku?" Tanyaku sambil menaruh gelas itu ke nakas, samping ranjang. Kemudian menatapnya penasaran.

Jisung terdiam sejenak, "tanyakan pada kakakmu. Biar dia yang menjelaskan."

Aku mengangguk pelan, tanda paham. Setelah pulang nanti, akan langsung kutanyakan padanya. Teganya dia, sudah bertemu Jisung duluan tapi tidak memberitahuku, tapi percuma juga dia memberitahuku.

"Park Jihoon meninggal setelah terkena tembakan itu, karena dia kehilangan banyak darah." Tiba-tiba Jisung berbicara mengenai Jihoon.

Seketika ucapannya membuatku tertegun. Aku menundukan kepalaku, menatap kosong selimut yang ku remat perlahan. Aku gagal menyelamatkan nyawa lelaki itu.

Jisung menarik tanganku, mengenggam dan mengusapnya halus. "Tidak apa-apa, ini bukan salahmu, ini sudah takdir, Tuhan sangat menyayangi kakakku." Lelaki itu menatapku, tak lupa memberikan senyum tulus, sangat tulus.

Aku masih terdiam, tak merespon ucapannya.

Dia ternyata masih sama, seperti Jisung yang kukenal dulu. Tak pernah menyalahkan orang lain dan tak pernah mempertanyakan keadilan Tuhan. Dia manusia yang mendekati kata sempurna.

"Siapa sebenarnya pria yang tega melakukan hal keji seperti itu," ucapku, lebih tepatnya monologku. Pria yang ku maksud adalah pria yang menembak Park Jihoon tadi. Aku tidak tau namanya.

[✔️] DEFEND LIGHT : portent | PARK JISUNGOù les histoires vivent. Découvrez maintenant