"Jangan main-main dengan sesuatu yang berhubungan dengan agama. Huruf-huruf ini tertulis ribuan di kitab suci. Dan bukan suatu hal yang bisa dibercadain."

Dia masih tetap menjadi pribadi yang principal, disipliner dan sedikit otoriter. Tidak ada toleran untuk hal-hal yang dianggapnya serius, tidak semua hal baginya bisa dianggap santai, berlaku juga kepadaku. Tetapi, memang akunya saja yang suka menggodanya, jadi aku sering mendapat hukuman darinya.

"Iya, iya, maaf."

"Sakit? Sini coba kulihat?" dia menarik wajahku, kemudian mengecup kening yang beberapa menit lalu dibubuhi sentilan darinya. "Jangan diulangi lagi, ya."

"Hm." Dan, seperti itu dia memberiku hukuman. "Yuk, lanjut."

Bicara soal menutup aurat. Sehari setelah akad, Pak Shaka pernah memberiku kalimat harapan bahwa jika suatu hari nanti aku mau menghijabi auratku. Saat aku tanya, kenapa dia tidak menyuruhku saja saat itu. Dia menjawab itu adalah pilihanku, dia tidak mau memaksa. Aku bebas memilih mau menutup aurat atau tidak, yang terpenting dia sudah memberiku nasihat.

Namun, saat aku mencari tau tentang hal itu. Ternyata, dosa istri adalah dosa suami. Jika istri berbuat dosa, suami juga mendapatkan dosa. Termasuk, jika istri mengumbar aurat, suami pun ikut menanggung dosa. Beberapa minggu terakhir ini, aku memikirkan hal itu. Dan perlahan aku mengubah outfitku, aku lebih sering memakai pakaian lengan panjang dan rok panjang. Kadang juga setelan panjang atau gamis meski belum berhijab.

Aku baru tau alasan Pak Shaka tidak mau memaksaku memakai hijab, itu semua karena masa lalunya dengan Oriana. Pak Shaka memaksa Oriana untuk berhijab, bukan berbuah baik namun sebaliknya. Oriana jadi membencinya, mereka sering bertengkar, hingga akhirnya Oriana memutuskan pindah agama setelah mengenal Ryu. Pak Shaka hanya takut itu juga terjadi padaku, meski dia tau konsukuensinya apa.

"Selamat datang!" ujarku begitu mendengar pintu kedai dibuka pelanggan. Aku kembali kerja di kedai sebagai owner juga sebagai pegawai. Posisiku sebagai kasir, meski terkadang juga membantu meracik kopi.

Nania sudah tidak bekerja di sini, dia ditawari bekerja di sebuah perusahaan iklan terkenal, sesuai cita-citanya. Karena masih sekota, dia sering berkunjung ke kedai sekadar curhat atau ingin bermalas-malasan di gudang kedai, atau kabur dari David setelah mereka bertengkar. Nania tahu, jika David tidak bisa melawanku. Tempat persembunyiannya tidak ada lagi selain di kedai.

Seperti sekarang, gadis itu datang-datang bermuka cemberut merecoki pekerjaanku dengan ocehan curhatnya.

"Nyebelin banget, kan? Kita pacaran dua tahun lebih, aku udah punya kerjaan, dia juga. Masih nunggu apa lagi coba? Sampai aku dilamar pria lain?"

"Sabar, Nania."

"Sabarku udah segunung, Bel. Kurang sabar apa coba? Perempuan itu cuma butuh kepastian, setidaknya proposal dulu lah. Jangan, kan untuk melihat gelagatnya mempersiapkan proposal, bicara mengarah ke topik pernikahan aja nggak pernah. Padahal aku udah sering kasih kode. David sialan!"

Aku meyodorinya es teh dari bahan buah-buahan, kesukaannya adalah buah apel. "Nih, minum dulu biar hati dan pikirannya adem."

Tanpa perintah lagi, Nania menyeruput minuman itu hingga setengah gelas, "Kamu udah nikah dua kali, aku satu kali aja belum juga."

"Haish! Bukan nikah dua kali, tapi rujuk! Rujuk!" semprotku.

"Iye, iye. Minta bolunya dong, butuh yang manis-manis nih." Belum juga aku mengizinkan, tangannya sudah mencomot dari balik etalase counter, kemudian melahapnya seperti tidak makan berhari-hari.

"Pernikahan tidak segampang apa yang kamu lihat, Nan. Ada banyak tugas yang harus dipersiapkan, dan tugas yang paling harus tunai adalah kesiapan mental, jiwa dan raga. Meskipun kalian sama-sama memiliki kesiapan dalam hal finansial, tetap percuma jika mental kalian tidak siap. Apalagi dari pihak laki-laki, dia tidak memikul tanggung jawab mencari uang saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam segala hal, termasuk menjadi partnermu berumah tangga." Aku mencoba memberinya pengertian.

Kedai CinderellaWhere stories live. Discover now