40: Malaikat Putih Berjubah Merah

19.5K 4.1K 399
                                    

"Pri—pria itu siapa, Sayang?"

Dengan terisak-isak dalam pelukanku, Alisa menjawab, "Pa—papa kandungku."

Aku menutup bibirku dengan tangan kiri, menutupi keterkejutanku atas fakta bahwa Alisa bukan anak kandung Pak Shaka. Aku menahan air mata yang memberontak ingin keluar, sebisa mungkin aku harus kuat untuk bisa lebih mendengarkan cerita Alisa.

"Lima tahun yang lalu... untuk pertama kalinya aku bertemu dengan papa. Aku dibawa ke Seoul dan tinggal di sana. Saat itu aku sangat bahagia, sedari kecil mama selalu menceritakan tentang papa yang tampan, baik dan sangat hangat." Alisa mulai bercerita dengan suara seraknya meski sesekali tergugu karena menahan tangis.

"Satu bulan pertama begitu menyenangkan, Alisa bisa merasakan berada di tengah-tengah keluarga sungguhan. Tapi, mama berubah saat beberapa kali selalu bertengkar dengan papa. Papa menampar mama di depan Alisa, papa... menginjak perut mama... menendang mama beberapa kali. Berkata kasar, memaki, dan mengumpati mama. Alisa... hanya bisa menangis ketakutan."

"Tiba-tiba di malam itu... Alisa mendengar mama menangis keras di ruang tengah. Alisa terbangun dari tidur lalu menghampirinya. Dan... dan... saat itu..." tangan Alisa bergetar, aku langsung menggenggam erat tangannya. Terasa dingin dan berkeringat.

Napasnya memburu, beberapa kali dia menggeleng dengan gerakan cepat. Seperti sangat ketakutan, bola matanya berlarian ke sana kemari, tubuhnya ikut bergetar.

"Cukup, Alisa. Cukup, jangan dipaksakan. Sudah cukup, oke?" aku mencoba menenangkannya, aku memeluknya erat. Aku takut dia kenapa-napa.

Dia menggeleng, menolak untuk berhenti menyelesaikanya. "Dan... saat itu... Alisa melihat banyak darah di tangan mama. Mama menangis keras, membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Aku berlari kearahnya, ta—tapi... ka—kakiku terhenti... saat melihat ... pa—pa—papa tergeletak di belakang kursi dengan... penuh darah."

Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Mendengar ceritanya saja membuat dadaku sesak, apalagi harus menyaksikan langsung tragedi mengerikan itu. Sama sekali tidak pernah ada di pikiranku bahwa trauma Alisa begitu sangat pedih.

"Mama berteriak kencang, menangis keras. Aku bingung, aku ketakutan, aku berlari masuk ke kamar lagi. Aku menangis ketakutan di balik selimut hingga tertidur. Be—besoknya... aku... melihat..." Dia terisak, menangis tersedu-sedu, seperti mengeluapkan semua kesedihannya.

"Ma—ma... gantung diri di kamarnya." Mendengar itu tubuhku membeku, hanya air mata yang bisa mewakili rasa keterkejutanku saat ini. Aku hanya bisa memeluknya, ingin rasanya menyedot seluruh kenangan buruknya, agar dia bisa lepas dari tali takdir buruk yang mengikatnya.

Aku membelai rambut Alisa di pangkuanku. Setelah gadis itu menceritakan semua mimpi buruk yang selama ini menghantuinya, dia menangis sampai tertidur di pangkuan. Dia menceritakan detail setiap apa yang dia ingat tentang sebuah tragedi lima tahun silam. Tentang dia yang sangat membenci mamanya karena memilih menggantung diri daripada bangkit dari titik nadir bersamanya, tentang dia yang tak mampu tersenyum setelah tragedi itu.

Alisa belum bercerita bagaimana dia bisa menjadi anak Pak Shaka, tetapi ini cukup menjadi benang merah bahwa Pak Shaka sama sekali tidak terlibat atas kematian Oriana Kim. Meski Alisa juga tidak bercerita bagaimana bisa dia membenciku di awal, aku tetap merasa senang dia bisa membuka diri mengluapkan semua kesedihannya kepadaku.

Bisa kalian bayangkan? Anak sekecil itu harus menyaksikan sebuah hal mengerikan orang terdekatnya, orang yang seharusnya menjadi pelindungnya. Keegoisan melenyapkan segala rasa bahagia.

***

[Jadi, Pak Shaka sebenarnya belum pernah menikah?]

"Entahlah," jawabku tidak yakin.

Kedai CinderellaWhere stories live. Discover now