7. Alisa Shabiru

17.7K 3.3K 175
                                    

Aku meloncat dari tempat tidur dan berlari ke arah kamar mandi, kantukku lenyap setelah telingaku mendengar nama Pak Shaka. Tak membutuhkan waktu lama, aku keluar dari kamar mandi kemudian berlari ke arah lemari, menyambar hoodie putih dan pants panjang berwarna abu-abu gelap. 

Aku membubuhkan bedak tabur Marks, merapikan alis yang berantakan dan mewarnainya sedikit gelap, memoles bibirku dengan lipbalm. Kemudian aku menggulung rambut dan menyisakan beberapa helai rambut saja. Detik berikutnya, kakiku keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga.

Di atas kursi ruang tamu sudah duduk si pemilik rahang tegas dengan cambang tipisnya, menyilangkan kedua kaki tanpa tahu diri di depannya ada Tante Celin dan Fastelin yang tersenyum tidak jelas, menawarkan minum dan camilan seperti SPG jajanan. Dalam hatiku bergunjing, mereka bertiga cocok sekali menjadi satu keluarga, ketiganya sama-sama tidak waras.

"Terlambat 10 menit 56 detik," ujar Pak Shaka sembari berdiri.

"Bap-" shit! Aku tidak boleh memanggilnya dengan sebutan itu, bisa curiga nanti tuh nenek lampir, "Kau tidak bilang akan menjemputku sepagi ini," balasku membela diri dan meralat sebutan 'bapak' menjadi 'kau'.

Pak Shaka menarik ujung bibirnya, kemudian mendekat ke arahku. "Its Okay, Baby. Ini suprise kok. Yuk, berangkat," katanya sembari menarik pinggangku. "Ibu mertua?"

Dipanggil seperti kontan wajah Tante Celin tampak kegirangan, merasa berbangga diri bakal mempunyai menantu pewaris kerjaan bisnis Adhitama Jaya. "Iya, Menantu?"

"Saya pamit, sekalian izin membawa putri cantik anda ke rumah saya."

"Oh, iya silakan. Jangan bosan buat main ke sini ya. Tapi maaf, gubuk kami tidak sebagus istana Nak Menantu," kata Tante Celin.

Kontan membuatku berdecak kesal mendengar ucapan ibu tiriku yang norak itu. Rumah ayah tidak sejelek gubuk, kok. Ya, memang benar sih tidak sebagus rumah Pak Shaka yang bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana megahnya rumah calon suamiku ini. Tetapi, ucapan Tante Celin barusan membuatku dongkol.

Pak Shaka membukakan pintu mobil untukku, mempersilakan aku untuk masuk dengan senyuman. Si aktor paling pintar bersandiwara itu sempat membungkukkan badan secara santun kepada Tante Celin dan dua anaknya yang berdiri di teras, sebelum akhirnya dia menyusulku duduk di jok belakang mobil.

Sepanjang perjalanan kami terbungkus sepi, aku hanya duduk menatap gedung-gedung tinggi yang berlalu bergantian melalui kaca mobil dengan sesekali melirik Pak Shaka yang sibuk dengan tablet. Aku bisa menebak, sebab perceraian Pak Shaka dengan istrinya pasti karena pria di sampingku ini adalah workholic, lihat saja dua matanya tampak serius menatap layar yang menampakan grafik-grafik naik turun, tanpa peduli ponselnya berdering sedari tadi.

"Pak, ponselnya berdering tuh!"

"Hm?" Pak Shaka menoleh ke arahku, fokusnya terpecah menyadari ponselnya berdering. Tanpa memperdulikan pandanganku, dia meraih ponselnya dan menjawab telepon dari seseorang.

See? Seolah dunianya berputar di tablet dan acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Bahkan, ponsel yang berdering cukup keras itu tidak bisa didengar oleh telinganya. Setelah memasukkan ponsel di saku belakang jas-nya, dia kembali menatap layar tablet. Berdeham sebentar, kemudian melirikku. "Kau sudah sarapan?"

"Aku nggak biasa sarapan."

"Oh."

Oh doang? Dasar!

"Oh, ya, nama putrimu siapa?"

"Alisa."

"Umur berapa?"

"Sepuluh tahun."

"Apa dia sepertimu?"

Kedai CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang