6. Air Mata Jatuh Saat Hujan

51.2K 7K 216
                                    

Aku sudah mengatakan tentang rencana pernikahan yang akan dilaksanakan kurang lebih satu bulan lagi kepada Tante Celin dan anak-anaknya. Mereka tidak percaya dan menuduhku mencari alibi untuk mengulur-ulur waktu pembagian harta.

Sampai akhirnya suruhan Pak Shaka datang untuk fitting baju, hanya ada dua baju yang akan aku kenakan nanti di pernikahan. Aku menduga pernikahan ini akan dilaksanakan secara sederhana mengingat waktu yang teramat mepet. Aku tidak masalah, begitu lebih baik.

Tante Celin dan anak-anaknya memintaku untuk mengundang mereka di pernikahanku nanti. Jelas aku menolak, karena yang punya wewenang adalah Pak Shaka, lagian aku tidak mau di pernikahanku nanti dua saudari tiriku yang norak ini membuat ulah.

Kejam? Whatever, aku tidak peduli.

"Kenapa tiba-tiba?"

Aku yang baru saja selesai fitting baju itu dihujami pertanyaan yang sama oleh Tante Celin, seakan-akan dia tidak percaya dan menaruh rasa curiga.

"Tante, kan, ingin pembagian harta, aku sudah bilang aku tidak punya uang. Berhubung pacarku kaya raya, ya udah aku minta dinikahin aja sama dia," jawabku ngasal.

Tante Celin menatapku penuh selidik, "Kamu jual diri, kan?" cetusnya. Aku langsung membelakakan mata, menatapnya penuh heran. "Yeah, terserah. Kamu mau jual diri kek, apa kek, yang penting pembagian harta. Tapi, aku punya satu syarat lagi."

"Syarat?"

"Hm. Aku meminta rumah ini."

Aku tersenyum kecut, sungguh perempuan di depanku ini begitu serakahnya. Andai ayah tau jika perempuan yang pernah dinikahinya semengerikan itu, aku yakin ayah tidak akan pernah mau menikahinya.

"Calon suamimu kan, kaya raya, jadi rumah ini tidak akan berarti apa-apa. Kamu bakal tinggal di istana mewah. Aku tak meminta lebih lagi, aku hanya menginginkan rumah ini. Atau..." dia menjeda kalimatnya sebentar, "kalo kamu tidak ingin menyerahkan rumah ini, aku akan meminta kedai sebagi gantinya. Gimana?"

"Nggak!" tolakku kontan.

"So?"

Rumah ini memang rumah baru, dibeli ayah setahun sebelum menikah dengan Tante Celin, tetap saja sama berartinya bagiku. Namun, kedai satu-satunya tempat peninggalan Bunda yang tak pernah berubah. Aku memang harus merelakan salah satunya. Ah, kenapa aku begitu lemah!

"Oke, Tante bisa miliki rumah ini. Tapi aku juga punya syarat."

"Syarat? Kurasa tidak perlu."

"Perlu!"

"Apa? Katakan saja!"

"Setelah ini semua selesai, jangan pernah ganggu hidup Sabella lagi. Baik itu Tante atau anak-anak Tante." Sungguh, aku tidak ingin punya urusan lagi dengan drama-drama mereka. Sudah cukup bertahun-tahun harus menahan kemuakan melihat tingkah mereka.

"Hahaha, oke, oke. Aku dan anak-anakku tidak akan menggangu hidupmu lagi," kata Tante Celin sembari melangkah pergi dengan tawa rasa kemenangannya.

Biarkan saja dia saat ini merasa menang, biar saja mereka menganggapku lemah. Hanya saat ini, cukup saat ini. Selanjutnya aku tak akan membiarkan hidupku diinjak-injak lagi oleh mereka. Cukup hanya saat ini saja.

***

"WHAT?!" Nania terpekik setelah mendengar penjelasanku. Dia sampai repot-repot berdiri dari posisi jongkoknya membersihkan sampah di bawah meja. "Jadi kamu mau nikah sama Pak Shaka?" detik kemudian dia berlari ke arahku yang berada di belakang counter.

"Biar nggak dibilang kufur nikmat," ujarku menyindir kata-kata Nania tempo hari yang mengataiku kufur nikmat.

"Wahgelaseh! Jadi sebentar lagi kamu bakal jadi istri duren sawit?! Unbelieveable!"

Kedai CinderellaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu