8 : Maju atau Menyerah?

22.3K 3.5K 511
                                    

Beberapa detik kami diselimuti kesunyian. Mataku tak lepas dari sosok gadis berdagu runcing dan bermata lebar dengan pupil berwarna cokelat terang itu. Dia menatapku dengan datar, tanpa senyuman, kilatan air mukanya mewakili rasa ketidaksukaannya akan kehadiranku.

Beberapa detik berlalu, dia mengalihkan dua manik matanya kearah lain. Aku masih berdiri tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak mengacuhkanku!

"Alisa..."panggil Pak Shaka lembut.

"Go way, Papa!" usirnya.

"Dia calon istri Papa, mau kenalan?" Pak Shaka kembali berlutut di depan Alisa.

Alisa berdiri, mengayunkan kaki kecilnya menjauhi kami. Dia pergi tanpa sepatah katapun, tanpa melirikku, dia terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaannya terhadapku.

"Alisa, don't be rude, Baby,"tegur Pak Shaka, tidak ada jawaban dari Alisa selain tatapan memicing beberapa detik kearah papanya.

Alisa keluar dari rumah kaca ditemani beberapa babysitter, menyisakan kami berdua di dalam taman penuh bunga dengan kaca besar sebagai tembok dan atapnya. Aku masih terbungkam, masih tidak percaya atas penolakkan calon anak tiriku terhadapku. Otakku seakan berhenti meroda, sel-selnya terdiam dan aku membisu.

"Itulah Alisa, putriku,"ujar Pak Shaka memecah keheningan.

Aku masih membisu.

"Kalau kau ingin mundur, katakanlah. Masih belum terlambat."

Tidak butuh lama untuk menjawabnya, karena sudah yakin atas keputusan ini, "No, aku tidak mau mundur."

"Kenapa?"

"Karena kita sudah menandatangani surat kontrak, right?"

"Hanya karena itu?"

Alisa seperti bukan anak sepuluh tahun biasa, dia berbeda. Ada tatapan kebencian yang terpancar di sorot matanya, ada luka dalam kilatan bayangan di manik matanya. Fisiknya memang seperti anak kebanyakan, namun aku yakin dalam jiwanya ada sebuah luka besar yang menganga lebar. Kupikir akan mudah, tetapi mungkin ini menjadi tantangan buatku.

Aku melempar pandangan ke deretan bunga-bunga yang terjajar di dalam pot rapi sebelum akhirnya aku melempar senyuman kearah Pak Shaka, "Aku melihat ada banyak cerita di sorotan matanya. Aku rasa dia memang butuh seorang ibu."

"Luluhkan hatinya, dia akan memberikan senyuman padamu," kata Pak Shaka sembari melangkah meninggalkanku sendiri.

Aku mengangguk menerima tantangannya.

***

Aku menghela napas seolah melepaskan sebuah tekanan berat dalam dada, kemudian menyesap matcha latte yang disediakan pelayan Pak Shaka. Aku tengah duduk di atas sofa empuk di depan perapian yang menyala. Mataku menatap kosong ke arah lukisan besar bunga Lily putih yang terpajang di atas perapian.

Pak Shaka datang dan duduk di salah satu sofa yang berdekatan dengan sofaku. Kami sama-sama menghadap ke arah perapian, beberapa sekian detik terselimuti keheningan.

"Aku penasaran," celetuknya setelah beberapa detik.

Aku menoleh kearahnya, "Tentang?"

"Kenapa kau menerima lamaranku? Padahal waktu itu kau sempat menolak."

Aku meliriknya sebentar, mungkin jawabanku akan membuatnya berpikir bahwa aku sama seperti kebanyakan perempuan matre lain yang tergiur hartanya. "Aku butuh uang."

"Butuh uang untuk?" Sahutnya yang kontan membuatku sepenuhnya menoleh kearah pria itu, kupikir dia akan langsung menghakimiku dengan label cewek matre.

Aku menarik pandangan dari tatapan Pak Shaka, mataku kembali menatap perapian, "Selama ini aku tinggal bersama ibu tiri. Sebelum Ayah meninggal, beliau memberikan 40% warisannya kepada Tante Celin dan kedua anaknya. Kalo kau pernah baca dongeng Cinderella, kisahku hampir seperti itu. Menjalani hidup di atas keterpaksaan untuk mempertahankan sesuatu yang berharga."

"Sesuatu?"

"Kedai yang kau datangi waktu itu. Kedai itu salah satu harta warisan Ayah dan masuk perhitungan dari 40% hak warisan yang diberikan Tante Celin. Selama ini aku bertahan mengalah atas perlakuan mereka bertiga, sampai akhirnya tiba-tiba Tante Celin ingin mengambil haknya. Otomatis kedai harus dijual untuk membagi harta warisan, aku diberi waktu sebulan untuk membeli kedai itu jika misal tidak mau menjualnya ke orang lain. Yah, dari situlah aku ke kantormu kemudian mendobrak pintu ruanganmu dan," terjeda sebentar, "menerima lamaranmu waktu itu." Aku tertawa miris mengingat hal memalukan tersebut.

Pak Shaka tidak merespon, aku sempat meliriknya sebentar. Dia juga tengah menatap perapian.

"Oh, ya, aku juga penasaran," cetusku, "sudah berapa banyak perempuan yang kau ajak ke sini? Apa semua tidak berhasil?"

"Hanya dua perempuan."

"Hah? Serius?" Tidak mungkin!

"Iya."

"Bagaimana dengan perempuan yang pertama?"

Pak Shaka melirikku, "Dia tidak tahan dengan sikap Alisa, lucunya dia malah ingin menyingkirkan Alisa dariku."

"Gila! Apa dia mantan istrimu?"

"Ibunya Alisa sudah meninggal."

"Ouh, i'm sorry to hear that. Pasti itu berat buatmu."

"Kehadiran Alisa memperingan bebanku. Meski dia tidak sehangat dulu, tapi dia adalah hadiah terindah setelah kematian orang yang paling aku sayang." Pak Shaka si muka datar yang terkenal otoriter itu berubah drastis ketika membicarakan gadis yang mampu menakluknya itu.

Kemewahan, kekayaan dan kekuasaanya yang dia miliki benar-benar membungkus takdir kelam yang dialami Pak Shaka. Apakah mungkin wajah iblisnya itu hanyalah topeng?

"Aku terlalu banyak bicara." Dia berdiri, "aku harap kau tidak memikirkan sesuatu yang aneh tentang keluargaku," lanjutnya sembari menata jas yang dia kenakan.

"Oh, ya, aku hampir lupa. Aku sudah menentukan umur perjanjian kita. Enam bulan."

"Enam bulan?" Aku menyusulnya berdiri karena saking terkejut.

"Iya, enam bulan. Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk menaklukan hati Alisa, jika kamu gagal dalam waktu enam bulan itu, aku tidak punya alasan lagi untuk tidak merebut kedaimu."

"Hey! Apa-apaan itu! Kedai itu bukankah akan menjadi emas kawin? Haram hukumnya direbut kembali," kataku tidak terima.

"Maaf, itu semua tertulis di surat kontrak," ucapnya seraya tersenyum licik dan melangkah pergi dari tempatnya.

"Aku belum selesai bicara! Pak Shaka!" Namun pria itu tidak menggubris panggilanku, "Pak! Duda gila! Haish!" umpatku kesal.

Hm? Enam bulan? Itu waktu yang terlalu lama hanya untuk meluluhkan hati gadis kecil itu. Lihat saja! Aku akan membuktikannya pada duda gila itu!

***


"Jangan bersikap tidak sopan, Sayang."

"Aku turut berduka mendengar itu."

Kedai CinderellaWhere stories live. Discover now