2. Bertahan Meski Sakit

55.1K 7.4K 141
                                    

PLAK! Tangan kananku mendarat keras di pipi pria itu. Seketika kami menjadi pusat perhatian, termasuk Nania, dia buru-buru berlari ke arahku.

"Dasar cowok gila! Emangnya gue perempuan apaan! Pergi dari sini!" usirku merasa kesal dengan ucapannya.

Pria yang kutampar itu berdiri, tidak ada ekspresi lain selain datar dan dingin. Menatapku dengan mata runcingnya itu. "Semua perempuan memang seperti itu!" cibirnya. Dia mengeluarkan dompet, mencabut uang ratusan ribu sebanyak lima lembar kemudian meletakkan uang itu di meja, setelah itu dia melangkah pergi.

Rahangku mengeras, apa-apaan pria itu? Tiba-tiba melamarku? Aku menatap kesal punggung yang beberapa detik menawariku untuk jadi ibu dari anaknya. Kenal saja tidak.

"Kenapa, Bel?"

"Dasar gila!" umpatku kesal, aku berjalan dengan gusar ke belakang counter.

Nania menyusul, "Kenapa kamu nampar tamu kita?"

"Dia nawarin aku jadi ibu dari anaknya."

Nania terkejut, matanya membulat. "Serius? Trus ngapain kamu menamparnya?"

Kini giliran aku yang terkejut, "Ya iyalah, kenal aja nggak, tiba-tiba nawarin gitu. Pasti dia itu pria nggak bener! Hidung belang!"

"Bodoh kamu ya Bel? Mana ada pria hidung belang sekeren dan setampan itu? Mana lagi dompetnya tebel, kan."

Mendengar perkataan Nania, mulutku terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang sahabatnya katakan itu. "Oh! bodoh? Na, logika aja deh, kita nggak saling kenal, bahkan nggak pernah ketemu sama sekali. Trus nikah gitu? Please, jangan murahan ya, jangan menilai seseorang hanya dengan melihat penampilan."

"Ya, siapa tahu dia pria baik-baik yang nggak perlu pacaran trus nikah kan, ada."

"Stop, okey? Aku nggak mau kamu bahas-bahas pira kurang ajar itu lagi. Hidupku sudah terlalu banyak drama, jangan tambahin episodenya. Lagian aku kan udah bilang, nikah bukan porsiku saat ini," tegasku. Aku berjalan menyambar celemek, "satu lagi, kalo kamu lihat dia ke sini, langsung usir aja. Paham?" titahku.

Nania mengembuskan napas panjang, kemudian dia mengangguk paham.

"Tau gitu, mending aja tadi yang nyamperin tuh cowok. Langsung said Yes I will-lah," gerutu Nania yang terdengar oleh telingaku.

***

Kadang aku berpikir, bahwa mati lebih baik daripada hidup yang sedang aku jalani kini. Kebahagiaan apa yang bisa kuecap? Tidak ada. Bak dongeng Cinderella, Tante Celin sebagai ibu tiri yang semula terlihat seperti malaikat tak bersayap berubah drastis sepeninggal ayah. Aku harus dipaksa kerja keras, hatiku yang semula lunak harus dipaksa jadi keras seperti batu. Tidak ada tujuan lain bagiku, selain lepas dari neraka ini.

Aku menghela napas berat, tubuh yang sudah bekerja keras dari pagi hingga malam ini harus dipaksa lagi untuk membersihkan sampah-sampah tiga manusia tak punya hati itu, belum lagi cucian piring kotor yang menumpuk di dapur. Lihatlah, tanganku yang semula lembut tidak pernah melakukan pekerjaan rumah berubah menjadi kasar karena pekerjaan ini yang diulang-ulang setiap harinya.

Jika orang lain menganggap rumahnya adalah istana, berbeda denganku yang menganggap rumah ini seperti neraka. Hanya ruang 3x 4 meter dengan rak buku yang penuh dengan novel dan kertas gambar sebagai satu-satunya surga yang aku miliki. Meskipun hidupku terpenjara dalam neraka ini, berada di ruang itu aku seperti berkelana nun jauh keliling dunia. Berharap suatu saat nanti khayalanku berubah jadi nyata.

"Loh, kok?" Aku berlari ke arah meja belajar. Mataku terbelalak kaget saat melihat hasil karya tulisku di robek-robek berantakan. Desain gaun yang sudah susah payah aku gambar, rusak. Bahkan, beberapa pensil warnaku juga patah.

Kedai CinderellaWhere stories live. Discover now