74. KETAKUTANKU

661 96 24
                                    

Ketika Genoa sedang menunggu kedatangan Dira dengan sabar. Tetapi pintu ruang rawatnya tiba-tiba saja dibuka dengan sangat kerasnya padahal pintu itu tidak terkunci seakan tak ada cara lain untuk memutar kenop pintu.

Jiwa membuang semua egonya, cowok itu sudah banjir air mata sejak tadi. Di belakang Jiwa juga sudah ada Adya yang menangis ke arah Genoa, wanita paruh baya itu ingin memeluk putranya tapi ia tidak bisa menahan tangisan yang terjadi saat mendengar berita ini.

Genoa bingung. "Ada apa?" tanyanya, ia melihat seluruh kondisi Jiwa. "Lo juga kenapa baju lo banyak darah?"

Tidak ada yang bisa Jiwa lakukan selain menangis. Dia begitu sakit melihatnya secara langsung. Sakit yang tak pernah tahu harus bagaimana mendeskripsikannya. Menjelaskan bagaimana keadaan hatinya saat ini.

Untuk kali ini, Adya baru berani memeluk Genoa. "Dira kecelakaan."

Tak ada lagi udara yang tercipta. "Dira, Ma?" tanya Genoa memastikan.

Mendapat anggukan kepala, sulit sekali merespons apa yang terjadi.

"Ma, Genoa mau ketemu Dira. Ma, Dira dimana?"

"Dira udah udah dibawa pulang ke rumahnya," seru Jiwa ada nada bergetar diucapannya. "Dia ditabrak mobil dan ... dan gue gagal jaga dia. Dira pergi. Dira meninggal."

Pelukan Adya terlepas, Genoa langsung membuka infusnya dan berjalan tertatih ke arah Jiwa. Satu pukulan yang tak bertenaga itu dilayangkan tepat ke pipi Jiwa. Dan mereka sama-sama tak ada tenaga hingga membuat Jiwa langsung limbung tak jelas arah pandangnya.

"KALIAN SEMUA BOHONG! DIRA GAK MUNGKIN PERGI. DIRA HARUS DATANG KE SINI. DIRA HARUS DENGERIN APA YANG GENOA MAU CERITA. DIRA MANA?"

Jiwa masih lemah dan tak kuat lagi untuk bangkit. Setelah mengantarkan Dira ke rumahnya, Jiwa langsung bergegas ke sini. Berita buruk ini sudah menjadi hal terberat didalam hidupnya.

"DIRA GAK MUNGKIN SEJAHAT ITU SAMA GENOA. MA, TELEPON DIRA MA! GENOA MAU BICARA SAMA DIRA."

Adya menuruti putra tunggalnya, ia menelepon kembali nomor Dira. Namun benar saja tak ada jawaban sama sekali dari sana. Ia mencoba telepon ke nomor orang tua Dira dan diangkat. Suara menangis terdengar di sana, Adya memberikan ponselnya ke Genoa.

"Halo."

"Genoa, Tante gak bisa Gen. Tante sendiri gak bisa terima ini."

"Tante. Dira gak mungkin pergi, kan?" tanya Genoa masih saja ingin menyangkal berita ini.

"Tapi, Genoa. Dira gak bisa bicara lagi sama Tante. Dira gak bisa lagi senyum ke arah Tante. Tante sebagai mamanya aja gak bisa merasakan kehadiran Dira lagi. Apalagi kamu?"

Tangan Genoa tanpa sadar sudah menekan tombol merah. Genoa merasa segala hal dihidupnya sekarang hilang. Ia sulit untuk menopang tubuhnya sendiri hingga menabrak dinding.

"Aku selalu punya perasaan takut kehilangan kamu, Dira."

Lamunan Dira buyar ketika mendengar Genoa berkata seperti itu. Apa ini ikatan yang kuat tentang perasaan? Mengapa mereka bisa berpikiran hal yang sama?

"Gak bisa dibayangin kalau aku kehilangan kamu bakal sekacau apa," seru Genoa dengan suara yang cukup keras.

Dira bahkan hampir bingung, sebenarnya siapa yang akan kacau?

Dirinya atau cowok itu?

"Aku takut Tuhan gak menciptakan kita untuk bersama."

Meremas tangannya dengan gemetar, Genoa merasakan seluruh tulang ditubuhnya rapuh. Hancur hingga tak bersisa. Otot yang saling menyambung itu terputus saat mendengar hal ini. Dira tidak mungkin meninggalkan dirinya, tanpa bertemu, tanpa berkata apapun.

Tangan Genoa sudah berada di kepalanya. Ia sangat tidak siap menerima kenyataan ini, cowok itu menjambak rambutnya sekuat tenaga.

Berkali-kali memukul kepalanya lalu mengantukkan kepalanya berkali-kali ke dinding.

Adya langsung menahan Genoa agar tak melakukan itu lagi. "Gen, kamu jangan kayak gini!"

"Genoa kacau, Ma." Sekali lagi kepalanya ia pukul sekuat tenaga. "Biar Genoa lupa lagi, Ma."

"Gen, kamu jangan tinggalin Mama juga!" tangisan Adya memeluk Genoa sekuat tenaganya. "Jangan buat Mama kehilangan kamu."

"Tapi Dira tinggalin, Genoa, Ma. Dira pergi. Dia jauh, Ma. Sekarang Genoa udah gak bisa lihat senyum Dira lagi. Lihat Dira ketawa lagi. Peluk Dira lagi."

Satu ruangan itu merasakan duka yang amat dalam. Ketika seseorang yang sangat dicintai pergi, tak ada lagi bahagia baru yang tercipta.

Tidak akan pernah sama lagi.

Dir, kamu pergi.

Ketakutanku lebih parah daripada ketakutanmu.

Kamu kehilangan ingatanku tapi aku kehilangan kamu.

* * *

VOTE DAN KOMENTAR SEBANYAK MUNGKIN!

SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗

LANJUT KAN?!

NEXT?

SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT

SEMOGA SUKAAA

TERIMA KASIH

FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE

Titik TerendahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang