Chapter 18

8.3K 1.3K 162
                                    

Entah sudah berapa lama Renjun mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. Ia mendesah pelan, lalu menelungkupkan wajahnya diatas meja, kemudian menatap botol kaca pemberian Mark yang entah mengapa belum juga dibuangnya. Setelah itu wajahnya memerah lagi, alhasil ia menjatuhkan dahinya berkali-kali dipermukaan meja. Begitu terus sampai dua jam lamanya.

"Apa-apaan pula aroma mawar ini," gerutu Renjun sembari mengendusi kulit tangan dan rambut panjang bergelombang berwarna abu-abu yang jatuh menutupi separuh wajahnya. Sekitar tiga jam lalu, para pelayan datang dan dengan heboh membantunya mandi. Para pelayan itu mulai bicara melantur yang aneh-aneh soal kulitnya yang sehalus sutra --meskipun dia sendiri tidak menolak fakta tersebut-- hingga irisnya yang sewarna awan badai.

Pelayan-pelayan yang sepertinya kebanyakan membaca novel romansa itu juga menambahkan terlalu banyak minyak beraroma mawar kedalam bak mandi Renjun, hingga alhasil sekarang tubuh Renjun mengeluarkan wangi mawar yang bisa diendus dari jarak dua puluh meter jauhnya.

"Sedang apa?"

Renjun berteriak tertahan, dengan refleks yang bagus ia menyambar botol kaca itu dan menggenggamnya. Ia beranjak dan berbalik, mengerjap-ngerjap beberapa kali sementara Jeno menutup pintu dan melepaskan jubah kebesarannya. Penampilan laki-laki itu sedikit lebih acak-acakan daripada biasanya, wajahnya pun tampak letih dan sedikit pucat.

"Yang mulia, anda baik-baik saja?" Tanya Renjun pada akhirnya tepat saat Jeno meletakkan pedang kavaleri yang sarung dan gagangnya bersepuh emas dan ditaburi batu scheelite diatas meja disamping tempat tidur.

Jeno menoleh padanya dan menyeringai jahil, tangannya bergerak untuk menyisir rambut cokelatnya kebelakang. "Tentu, memang apa yang salah denganku?"

Renjun menelan ludah. "Anda-- anda terlihat pucat dan kurang sehat. Apa ada yang bisa saya bantu?" Ucap Renjun dan entah apa yang dipikirkannya hingga ia bisa menawarkan bantuan pada Jeno.

Tau-tau saja Jeno sudah berada tepat didepannya, berdiri menjulang sampai-sampai Renjun harus mendongak sedikit untuk menatap wajahnya. Tangan Renjun yang memegang botol kaca pun ia sembunyikan dibelakang punggung. Bisa bunuh diri ia kalau Jeno tau apa itu.

Jeno melingkarkan tangannya di pinggang Renjun dan menariknya mendekat, dalam hati Renjun berdoa agar Jeno tidak menggenggam tangannya tiba-tiba. "Kau khawatir padaku? Istriku?"

Wajah Renjun pastilah memerah, sebab Jeno kini terkekeh kecil karenanya.

"Baiklah-baiklah, sebenarnya aku melewatkan makan siang dan juga makan malam. Semalam pun aku tak tidur sama sekali karena banyak pekerjaan yang harus kukerjakan, jadi sekarang aku sedikit lelah."

Jeno berjengit kecil saat tiba-tiba saja Renjun melotot kepadanya. Padahal selama ini ekspresi yang selalu Renjun berikan padanya adalah ekspresi ngeri, takut atau bahkan menghindari tatapannya sebisa mungkin. Diam-diam Jeno tersenyum tipis.

"Saya akan memanggil pelayan untuk menyiapkan makanan."

Saat Renjun hendak melepaskan diri, Jeno tak dengan mudah melepaskannya begitu saja. Padahal Renjun punya alasan lain yaitu membuang atau menyembunyikan botol kaca pemberian Mark tadi.

"Duduk saja disini denganku, kau ingin makan apa?" Ucap Jeno. Dalam satu jentikan jari, kursi tertarik kebelakang dan setelahnya Jeno mendorong Renjun untuk duduk di salah satunya sementara ia duduk diseberang Renjun.

"Aku--saya sudah makan malam."

"Créme atau muffin?" Ucap Jeno sambil menopang dagu dengan tangan kirinya.

"Créme, tapi saya--"

"Tart atau cheesecake?"

Renjun menghembuskan napas. "Yang mulia--"

I'm A Princess/Noren (End) ✔Where stories live. Discover now