11 - 𝓢𝓹𝓪𝓬𝓮

8.3K 320 1
                                    


Isaac mengunyah Soufflé yang dimasak Agatha. Tidak buruk. Pikirnya. Tapi tidak sesempurna yang dibuatkan koki pribadinya. Isaac terkekeh dalam hati, berarti dia tidak perlu menikahi Agatha, 'kan?

"Enak." Kata Isaac sambil tersenyum simpul. Agatha hanya menatapnya lalu berbalik dan menuangkan segelas jus jeruk dan menyodorkannya kepada Isaac.

"Jus jeruk bagus untuk kesehatan." Kata Agatha. Isaac tersenyum lagi sambil menenggak jusnya sedikit.

Agatha hanya duduk diam di seberang meja sambil memainkan jari jemarinya. Ia sedang menunggu Isaac sampai ia selesai lalu mungkin akan mmenelepon teman-temannya, entahlah. Ia tidak lapar, itu yang sekarang ia yakini.

"Kamu tidak makan?" Tanya Isaac. Agatha menggeleng lalu kembali memainkan jari-jemarinya.

Isaac tertegun melihat Agatha yang sibuk dengan dunianya sendiri. "Agatha." Panggilnya. Agatha menoleh sesegera mungkin. "Aku membelikanmu sesuatu." Kata Isaac ssmbil tersenyum dan meraih sebuah kertas karton berwarna putih dengan tulisan font yang tebal, VS.

"Terima kasih," kata Agatha sambil membuka tas karton itu. Ia mendapati sebuah lingerie dan pakaian dalam baru. Semuanya berwarna cerah dan warna tipikal untuk suasana sensual. Agatha sebenarnya sudah tidak berharap lagi. Isaac tentu hanya melihatnya seharga pelacur bayarannya. Ia sedikit merasa bodog sekarang karena memperlakukan Isaac terlalu baik.

Ia lelah sekali rasanya.

"Pakai itu sekarang disini." Perintah Isaac. Agatha mendongak kepada Isaac yang menunggunga dengan gelas jus jeruk menempel di bibirnya. Kedua matanya yang tajam menyorot kearah Agatha yang menelan ludah. Ia ingin menolak.

"Bi.. Bisakah kita melakukannya di kamar saja?" Tanya Agatha. Ia mencuri pandang kearah lorong kemana Wendy tadi pergi bersama sekeranjang cucian. "Disini." Kata Isaac.

Agatha mengerjap beberapa kali. Ia benar-benar harus melakukannya.

Agatha mulai membuka kancing bajunya perlahan sambil sesekali mencuri pandang kepada Isaac yang menunggu dengan sabar. Tapi Isaac berdiri dan kemudian menarik Agatha menuju ruang tamu gelap. Cahaya rembulan yang menelusup dari jendela besar dengan pemandangan kolam renang hanya satu-satunya sumber cahaya untuk mereka berdua.

Agatha merasa benar-benar tidak nyaman. Ia sudah bertemu dengan semua pegawai Isaac selama sebulan tinggal disitu. Mereka semua tinggal di rumah kecil di ujung taman. Kaca jendela di rumah ini pun transparan dan orang-orang diluar bisa melihat ke dalam dan begitu pula sebaliknya. "Isaac, tidak bisakah kita melakukannya di kamar?" Pinta Agatha sekali lagi.

Tapi Isaac melepaskan genggaman tangannnya ketika Agatha sudah berdiri di atas karpet bulu sedangkan pria itu memposisikan dirinya untuk duduk dengan nyaman di sofa panjangnya. Ia menatap Agatha sambil melonggarkan ikatan dasinya.

Agatha terdiam di hadapannya sambil ikut menatapnya juga. "Kita tidak sedang lomba tatap-tatapan." Kata Isaac sambil tersenyum miring.

Agatha menghela napasnya perlahan lalu mulai kembali membuka kancing baju putihnya. "Perlahan," kata Isaac, "aku mau melihat semuanya." Agatha tidak bisa melakukan hal lain selain menurutinya. Ia membuka kancing, resleting dan kaitan pada pakaiannya dengan perlahan. Ia menoleh kepada Isaac yang balik menoleh kepadanya. "Aku malu." Kata Agatha ketika ia berdiri dengan celana dalam dan branya.

"Kenapa?" Tanya Isaac. Agatha menggeleng. Enggan memberitahunya. Karena Isaac hanya akan menyangkalnya saja, ia tahu. Ia mengerti polanya. "Lepas pakaian dalammu." Perintah Isaac sejenak setelah itu.

Agatha melepas kaitan branya, lalu menutup payudaranya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menjatuhkan bra itu di lantai. Selanjutnya Agatha melepaskan celana dalamnya. Lalu refleks menutup bagian intimnya dengan tangan kanannya. Isaac kelihatan tidak senang dengan refleks Agatha.

Toy For YouWhere stories live. Discover now