40 - 𝓣𝓱𝓲𝓼 𝓘𝓼 𝓘𝓽

791 28 3
                                    

"Maukah kamu menikah denganku?" Isaac bertanya dengan wajahnya yang gugup. Ia melihat Agatha yang tertegun, terlalu kaget untuk bereaksi, apalagi menjawab.

Belum pernah Isaac melakukan hal ini sebelumnya. Bertumpu di satu kaki dan mempersembahkan dirinya, seluruh sisa hidupnya, dan sebuah cincin. Melamar gadis, maksudnya.

Seumur hidupnya Isaac, ia tidak pernah harus merendahkan dirinya untuk mempersembahkan sesuatu. Ia selalu merasakan kebalikannya.

Dunialah selama ini yang mempersembahkan segala sesuatu untuk Isaac. Cinta, kesetiaan, dan perhatian adalah tiga hal yang tidak sulit Isaac dapatkan selama ini. Tapi Agatha berbeda. Gadis itu dari level yang berbeda untuk Isaac.

Ketika Isaac mengetahui keberadaan Agatha, ia langsung tahu kalau gadis ini lahir ke keluarga yang berkuasa dari awal mula Kota Matahari. Ia bukan gadis biasa yang melihat kekayaan Isaac sebagai sesuatu yang baru.

Isaac terbiasa kepada gadis-gadis yang dengan sukarela mengejarnya. Mungkin karena parasnya, tapi lebih sering karena hartanya. Ia tidak keberatan, tapi kalau boleh jujur, ia bosan. Ia tidak menemukan tantangan pada mereka karena untuk menaklukkan gadis-gadis itu, Isaac hanya perlu banyak-banyak menggesek kartunya lalu gadis-gadis itu langsung membukakan kaki mereka di hadapan Isaac.

Awalnya kemudahan itu membuat Isaac tenang. Ia tidak perlu banyak usaha. Ia hanya perlu membelikan tas, sepatu, dan baju bermerk mahal untuk mereka. Hal-hal yang berteriak 'orang kaya baru' adalah hal yang memuaskan bagi mereka. Tapi kemudian ia segera bosan. Gadis-gadis itu membuat paras dan senyuman milik mereka sebagai karakter. Karena pada dasarnya, mereka tidak punya karakter yang bisa mereka perlihatkan. Mereka hanya tau cara memikat, lalu dengan cepat mereka jadi membosankan karena tidak punya apa-apa lagi yang bisa mereka perlihatkan.

Tapi, Agatha lahir pada uang dan kekuasaan. Ia pada dasarnya tidak memerlukan Isaac apalagi barang-barang bermerk itu untuk hidup. Baginya baju, tas, dan sepatu desainer yang dirancang khusus untuknya, dengan harga puluhan, ratusan juta adalah hal yang biasa. Isaac tahu itu karena ia sering melihat Agatha menggunakan dress sederhana dari desainer yang baru naik daun sebagai pakaiannya sehari-hari ketika gadis itu berada di rumah Isaac.

Gadis itu selalu hadir dengan kesederhanaannya yang mahal dan suka hidup jauh dari masyarakat. Ia jauh dari budaya sosialita dan ia awas diri kalau berada di sekitar Isaac. Ia tidak berusaha untuk meletakkan sorot lampu perhatian kepada dirinya dan senang untuk hidup di dalam sorot lampu yang ia ciptakan sendiri untuk dirinya sendiri. Ia bahagia hanya karena makanan yang ia masak enak dan lega hanya karena ia akhirnya bisa mencuci piring tanpa memecahkan maksimal tiga piring kaca. Ia membuat membaca dan berjalan di pinggir kolam sebagai hobi utamanya, lalu melukis dan memasak sebagai hal yang ia lakukan untuk menghabiskan waktu senggang.

Agatha berbeda dari gadis-gadis yang pernah Isaac kenali sebelumnya. Gadis itu misterius dan hal itu membuat Isaac dengan mudah tenggelam dalam keingin tahuannya kepada Agatha.

Ya. Isaac tidak berhenti mengamatinya. Ia tidak bisa berbohong kalau Agatha ini telah sepenuhnya membuatnya jadi pengamat pribadi gadis itu. Kalau ia boleh jujur, setiap hal milik Agatha yang telah Isaac amati berhasil meninggalkan kesan untuknya. Ia terus menemukan hal baru yang dilakukan Agatha begitu berkesan dan membuat gadis itu kian hari kian menarik.

Isaac jadi ingin untuk terus menjadi pengamat pribadi gadis itu dari dekat seumur hidupnya.

"Aku tahu aku memulai pertemuan kita dengan kesan buruk. Dan aku meminta maaf untuk itu. Aku masih tidak terbiasa dengan semua ini dan aku mau belajar untuk jadi baik." Kata Isaac yang merasakan ritme detak jantungnya semakin cepat di dalam dadanya. "Aku mau melakukannya demi kamu."

"Kenapa aku?" Adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Agatha, lalu "haruskah aku?" adalah pertanyaan yang menyusul.

Jantung Isaac yang berdetak cepat seketika berhenti sedetik. "Apa?"

Agatha mengalihkan pandangannya dan mengerucutkan bibirnya, kelihatan tidak terbebani dengan pikiran. Tidak seperti Isaac yang ada di hadapannya hampir meledak menunggu saat seperti yang sekarang ini terjadi. "Hm." Isaac mengerjapkan matanya. Berusaha untuk secepat mungkin meresapi situasinya saat ini. "Mungkin aku menanyakannya terlalu cepat." Kata Isaac yang jelas-jelas masih kaget dengan respon Agatha. Isaac kembali berdiri pada kedua kakinya sambil kembali tersenyum, seakan telah melupakan rasa kaget yang baru saja ia rasakan tadi.

"Apa kamu lapar, Aggie?" Isaac menatap Agatha sebentar lalu segera berbalik, berjalan menuju pintu depan dan menutup pintu garasi lewat handphonenya.

Agatha menyaksikan betapa canggungnya Isaac ketika ia baru saja mengalami peristiwa yang benar-benar baru untuknya. Agatha jelas belum menerima. Tapi ia juga tidak sepenuhnya menolak. Entah berapa kali ia menggaruk tengkuknya, melihat kanan-kiri seperti sedang menyeberang jalan dan melupakan apa yang hendak ingin ia ambil.

"Apa harimu baik-baik saja?" Tanya Isaac. Agatha akhirnya menengadah dan mefokuskan perhatiannya kepada Isaac sekarang.  "Hm? Oh. Ya. Baik kok."

"Hm." Isaac kembali tersenyum canggung dan meletakkan sepiring pasta, sambil menenggak segelas penuh anggur merah yang baru sedetik lalu ia tuangkan. "Isaac, bukankah kamu sudah meminum tiga gelas dalam sejam ini?"

"Hm? Oh. Gak! Aku gak apa-apa." Kata Isaac sebelum mulai cegukan. "Apa kamu juga mau segelas?"

Agatha menggeleng sambil tersenyum tipis, "aku  gak usah. Terima kasih."

"Hm." Lagi-lagi Isaac tersenyum canggung setelah hm-nya itu.

"Apa ada sesuatu di pikiranmu, bunny?" Tanya Isaac yang akhirnya meletakkan gelasnya. "Kamu terlihat terbebani."

"Hm? Oh. Gak apa-apa. Cuma capek." Kata Agatha sambil memainkan pasta yang ada di piringnya. "Isaac apa kamu pernah merasa lelah?"

Isaac mengernyitkan dahinya. "Lelah karena apa?"

"Hidup." Kata Agatha sambil terus menatap pastanya. "Apa kamu pernah lelah hidup dengan banyak uang?" Isaac menenggak anggurnya lagi sebelum menggeleng lamban, kelihatan jelas sudah sepenuhnya mabuk. "Tidak," Isaac cegukan, "Aku, maaf, sebentar. Hm. Aku tidak pernah bosan hidup seperti ini."

"Begitu ya?" Tanya Agatha sambil menyaksikan Isaac kembali menuangkan anggur merah ke dalam gelasnya dengan cepat. Ia jelas-jelas terlihat semakin membutuhkan anggur itu setelah Agatha bertanya. Mungkin Agatha perlu menguji ketahanan Isaac. Ia ingin tahu seberapa banyak anggur yang akan pria itu tuangkan sebelum menarik rambut Agatha atau memanggil Agatha dengan sebutan yang buruk.

"Aku belum siap menikah, Isaac." Kata Agatha sambil menengguk air mineral dari gelasnya sendiri. "Mmhmm," Isaac menganggukkan kepalanya sambil berusaha sadar dan meneguk alkoholnya lagi. "Isaac apa kamu mendengarku?" Tanya Agatha.

"Ya!" Isaac meletakkan gelas anggurnya dengan sekuat tenaga kepada meja marmer di island dapur. Ia masih tersenyum pada Agatha tanpa sadar kalau tangannya berdarah karena terkena beling kaca dan berlumuran alkohol yang seharusnya jadi minumannya. "Isaac! Astaga, apa kamu tidak apa-apa?" Tanya Agatha sambil berdiri dan bergegas berjalan kepada Isaac.

"Tidak!" Isaac menahan suaranya yang hampir menggelegar. "Aku bisa sendiri." Katanya.

Agatha sempat memercayainya sebelum pria itu tersandung pada kakinya sendiri dan terjatuh ke lantai. Isaac terkekeh sambil berkata "Agatha kamu cantik kalau memakai mantel yang kubelikan!" Ia benar-benar mabuk. Pikir Agatha sambil ikut tertawa kecil. Tawa mereka berkejar-kejaran sebelum akhirnya Isaac berhenti dan raut wajahnya berubah datar.

Lalu tiba-tiba ia muntah. Dan yang meleleh dan keluar dari mulut pria itu bukan makan siangnya, namun gumpalan merah yang lebih merah dari anggur merah yang ada di gelas mereka.

Agatha tidak lagi menganggap situasinya ini lelucon. Apalagi ketika melihat Isaac kembali muntah dan makanan dari seisi perutnya bercampur bersama gumpalam merah yang Agatha kenal betul. Gumpalan itu darah.

Isaac tumbang dengan wajah yang mendarat pertama ke lantai.

"Isaac? Isaac!"

***

Toy For YouWhere stories live. Discover now