12 - 𝓓𝓪𝓭𝓭𝔂'𝓼 𝓗𝓸𝓾𝓼𝓮

8.6K 383 6
                                    


Ini pada gak nge-vote krn apa sih? 🥺
Ceritanya kurang seru ya?

Agatha terjaga karena sinar matahari yang menyengat kulitnya. Matanya mengerjap beberapa kali sampai penglihatannya yang samar-samar sepenuhnya fokus. Gadis itu bangkit dan melihat suasana kamar yang berbeda. Wallpaper hijau dan jauh lebih sempit dari kamar sebelumnya.

Agatha teringat dengan kesepakatannya dengan Isaac semalam setelah ia mandi. Isaac memang setengah mabuk ketika ia mendengarkan Agatha. Tapi gadis itu yakin Isaac paham kata-kata yang meluncur dari mulut Agatha.

"Jadi kamu mau kamar terpisah?" Tanya Isaac. Agatha mengangguk takut-takut. Isaac menghela napasnya sambil menyandarkan kepalanya di sofa. "Kamar ini kurang nyaman? Aku bisa ganti barang-barang yang kamu gak suka." Kata Isaac sambil berjalan cepat dan menangkap kedua lengan Agatha.

Gadis itu memalingkan wajahnya sambil mencoba untuk menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan.

"Bu.. Bukan furniturnya masalahnya."

"Jadi apa masalahnya?" Tanya Isaac sedikit kesal. Kamu. Masalahnya itu kamu. "A.. Aku perlu waktu sendiri juga." Jawab Agatha. Isaac kembali menghela napasnya.

Apasih susahnya memberikan Agatha kamar terpisah? Kalau bisa pun Agatha akan meminta rumah terpisah darinya. Toh Isaac punya kendali utama di rumah yang juga miliknya ini. Agatha hanya tidak ingin tidur bersebelahan dengan pria yang baru dikenalnya. Itu saja. Apalagi dengan pria yang baru saja membelinya dari ayahnya.

"Lihat aku," kata Isaac sambil mendekatkan wajahnya kepada Agatha. Gadis itu perlahan menoleh kepada Isaac yang kelihatan sangat lelah dengan dua kantong mata yang sedikit hitam menghiasi kedua mata hijaunya. Agatha tidak menyadarinya karena ia pun belum pernah menatap wajah pria itu sedekat dan sejelas ini.

"Kenapa kamu perlu kamar terpisah?" Ulang Isaac lagi, seperti tidak yakin dengan alasan Agatha tadi. "A.. Aku butuh waktu sen-"

"Kenapa kamu perlu kamar terpisah, Agatha?" Potong Isaac tidak sabaran karena setiap Agatha berbicara ia mencicit seperti hamster. Agatha menelan ludah, merasakan kedua tangan Isaac mencengkeram lengan atas Agatha semakin kuat. Apalagi alasan yang bisa ia katakan supaya pria ini percaya? Ia tidak mempersiapkan diri untuk skenario ini. Tapi apa susahnya sih?

Isaac menghela napas. Ia kelihatan frustasi bagi Agatha. "Oke, oke, oke." Kata Isaac. "Aku akan minta mbak untuk ngerapihin kamar sebelah." Kata Isaac sambil memijit batang hidungnya.

Pria itu berdecak lalu meninggalkan Agatha yang berdiri sendirian di tengah kamar besar itu. Ia sekarang sudah kehilangan kata-kata. Apa dia salah? Tidak. Dia hanya meminta kamar terpisah. Itu saja.

Lalu kenapa Isaac begitu gusar? Toh dia hanya perlu mengunjungi Isaac ketika pria itu membutuhkannya lalu setelah semua tugasnya selesai, ia bisa kembali ke kamarnya.

"Kamu marah?" Tanya Agatha, menghampiri Isaac yang duduk di bangku balkon lantai dua dengan segelas alkohol. Lagi-lagi alkohol.

Isaac menghela napasnya berat lalu kembali bermaksud menenggak habis alkoholnya, tapi Agatha menahan tangan Isaac dan meraih gelasnya. "Kamu marah?" Ulangnya lagi sambil memeluk lengan kekar Isaac. Gadis ini tahu cara meluluhkan hati orang, pikir Isaac, dan ia berhasil.

Isaac mendaratkan kepalanya diatas kepala Agatha dan mencium puncak kepala gadis itu. "Kenapa kamu perlu kamar terpisah, Agatha?"

Agatha mendongak untuk menatap wajah Isaac, "bahkan seorang raja tidak akan tidur dengan selir kesayangannya." Isaac mengernyitkan dahinya. "Aku bukan seorang raja." Katanya. "Dan kamu bukan seorang selir."

Toy For YouWhere stories live. Discover now