ILY - 17

1K 158 121
                                    

Jimin mengaduk nasi goreng yang hampir jadi di atas wajan. Ia menambahkan sedikit garam setelah merasakan masakannya yang kurang asin. Setelah merasa masakannya sempurna, ia pun mematikan api kompor lalu menyajikan nasi goreng tersebut untuk Sunmi.

Setelah hampir sepuluh menit ia memeluk Sunmi, pria itu menyuruhnya untuk segera ganti baju lalu sarapan. Jimin sendiri yang menawarkan diri untuk memasak. Untung saja Sunmi menuruti ucapannya dan disinilah ia sekarang, duduk di atas kursi makan dengan baju kaos lengan panjang guna menutupi lukanya.

Kini pria itu duduk di depan Sunmi setelah menyodorkan sarapan untuk gadis itu. Ia meminum air mineralnya seraya melirik Sunmi yang masih setia menunduk. Jimin menghela napas. Ia memajukan tubuhnya sedikit lalu berkata, "Kenapa, hm? Tangannya sakit?"

Sunmi langsung mendongakkan kepalanya. Ia mendapati wajah tampan Jimin yang hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter di depan wajahnya. Tentu saja ia terkejut namun gadis ini justru memilih untuk mematung daripada menghindar.

"Tangan kamu sakit? Atau kebas? Bisa diangkat, gak?"

Sunmi tak menjawab apapun. Ia hanya memberikan tatapan kosong dan membuat pria itu menghela napas. Tanpa basa-basi, ia segera mengambil sendok di atas piring Sunmi, menyendokkan nasi goreng tersebut lalu menyodorkannya kepada Sunmi.

"Makan dulu, ya? Nanti kita obati lengan kamu."

Sunmi tak memberikan respon apapun. Bukannya marah ataupun kesal, Jimin justru tersenyum dan menatap Sunmi dengan lembut.

"Makan, ya? Dikit aja. Jangan sampe kamu sakit, oke?"

Jimin semakin melebarkan senyumannya ketika Sunmi membuka mulut. Ia menerima sesendok nasi goreng tersebut kemudian mengunyahnya dengan pelan. Jimin dapat melihat mata gadis itu berkaca-kaca dan membuat pria itu menunjukkan semangat dan kembali menyuapi gadis itu.

"Loh, udahan? Yakin?"

Sunmi mengangguk sebagai jawaban. Tepat setelah suapan kelima, Sunmi menggeleng pertanda jika ia tak ingin melanjutkan sarapannya. Jimin pun menurutinya. Setidaknya perut gadis ini sudah terisi.

Kini mereka duduk berdampingan di sofa ruang keluarga. Jimin dengan telaten mengobati luka di lengan Sunmi. Gadis itu pun tak banyak melawan. Ia membiarkan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol itu bersentuhan dengan kulitnya. Meski demikian matanya tak dapat terlepas dari wajah serius Jimin, membuat kadar ketampanan nya naik berka-kali lipat.

"Sejak kapan kamu kayak gini?"

Sunmi mengulum bibirnya, sudah menduga jika Jimin akan menanyakan hal ini.

"Sejak SMP," cicit gadis itu.

Gerakan Jimin pun terhenti sejenak lantaran merasa kaget. Sedetik kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya kemudian kembali bertanya, "Tapi saya gak pernah lihat selama ini. Sempat berhenti, ya?"

Sunmi mengangguk pelan karena tebakan tersebut benar adanya. Ya, ia telah mencoba cutting untuk pertama kalinya saat menduduki bangku kelas dua SMP. Namun hal tersebut tak berlangsung lama. Ia kembali menemukan motivasi untuk tetap bertahan hidup meski semua orang mengkhianati nya.

"Kenapa?"

Sunmi terdiam sejenak, antara yakin dan tidak yakin untuk mengutarakan hal tersebut.

"Karena satu orang," jawabnya.

Jimin pun mengangguk pertanda mengerti. Ia membereskan sisa pekerjaannya lalu menutup kotak P3K di atas meja.

"Dukungan dari orang lain emang selalu jadi obat manjur untuk urusan mental. Itu gak salah, sih. Syukurlah kalo kamu mau membuka hati untuk orang itu."

Mr. CounselorWhere stories live. Discover now