24

3.2K 399 26
                                    

Subuh, aku bangun dengan kelinglungan. Setengah sadar, aku bersandar di kepala ranjang untuk mengumpulkan nyawa sambil mengingat-ingat kenapa aku bangun dengan rasa sesak.
Kelopak mataku yang terasa tebal dan berat membuatku mengingat semuanya. Semua yang terjadi semalam yang membuatku beakhir mengenaskan dipagi hari seperti ini. Aku benci disambut rasa sakit saat bangun tidur. Dan rasa sesak itu membawaku kembali terisak.

Semalam aku langsung mengurung diri dikamar. Tentu saja selama proses itu, aku harus melewati pertanyaan curiga mama karena aku pulang lebih awal dari perkiraannya. Tapi syukurnya mama memberi pengertian saat aku mengatakan ingin segera tidur karena kelelahan. Nyatanya yang aku ingat, aku langsung terisak dibawah bantal begitu mengunci pintu, alih-alih terpejam tidur seperti yang aku bilang. Sampai beberapa saat ditengah isakku tanpa sadar aku tertidur dan bangun dalam porak poranda ini.

Aku memijat pelipisku yang berdenyut, inilah konsekuensi yang harus kuterima karena tertidur sehabis menangis. Kepalaku akan terasa sangat berat ketika bangun. Sialnya, efeknya itu tidak akan hilang dalam waktu singkat satu jam atau dua jam.

Aku menyibak selimut dan menurunkan tungkaiku. Disitu aku mengerang pelan karena tidak hanya kepalaku saja yang berdenyut, aku merasakan tengkukku juga ikut-ikutan berdemo menyerempakkan rasa sakit. Entah bagaimana posisi tidurku semalam usai tertelungkup di atas kasur.

Aku melepaskan jam tangan yang belum sempat kulepas. Menggelung rambut kemudian mengambil kapas dan membasahinya dengan micelar water guna menghapus sisa make up yang tersisa. Selesai melakukan aktifitas itu aku memutuskan untuk mengguyur tubuh dengan air.

Didapur, mama sudah berkutat dengan alat perangnya untuk membuat kue. Bahkan aku bisa mendengar suara mixer dari dalam kamarku. Sejak kepergian papa, mama memang menyibukan diri dengan hobinya membuat kue. Dan memutuskan untuk membuka jasa membuat kue, meski baru memiliki beberapa pelanggan yang tak lain adalah teman-teman mama sendiri atau tetangga-tetangga sekitar.

"Tamara telfon kamu katanya nggak bisa, kenapa? HP kamu mati lagi?" mama bertanya saat aku mengambil mug dikabinet untuk menyeduh teh demi mengurangi rasa pusing dikepalaku. Aku ingat, semalam aku sengaja mematikan ponsel karena malas menerima telpon Arka.

"Iya mati ma," jawabku seraya menghidupkan kompor untuk memasak air.

"Kan... kamu itu dari dulu kebiasaan banget lupa charger handphone. Harusnya gimanapun juga pastiin daya handphone kamu itu selalu penuh, kalau mau kemana atau ada orang perlu kan juga enak," katanya sambil mencampurkan bahan-bahan kue kedalam baskom.

"Ngapain Tamara telpon ma?"

"Katanya, mamanya pesen brownies tiga loyang, dan diambil jam delapan pagi."

Astaga, aku benar-benar lupa. "Iya ma. Kemarin Tamara udah pesan sama aku, tapi aku lupa bilang ke mama."

"Tuh kan. Untung Tamara semalem inisiatif bilang ke mama langsung, kalau enggak gimana? Kan kasihan kalau dia merasa udah pesen, tapi begitu mau ambil barangnya ternyata nggak ada." Aku hanya meringis mendengar omelan mama yang tetap fokus mengaduk adonan dengan mixer. "Besok besok handphone jangan sampe mati lagi."

"Hmmm..."

Ku tuang air yang sudah mendidih kedalam mug yang sudah kuberi satu sendok gula, kemudian mencelupkan satu kantong teh didalamnya.

"Semalem kamu berantem sama Arka?"

Pada akhirnya rasa ingin tahu mama mencuat pagi ini.

"Marahan apaan sih ma..." Aku membuka kulkas dan mengambil satu lemon dan mengirisnya.

"Ya kamu semalem pulangnya tumben cepet. Arka juga nggak antar kamu, kan? Ada apa ?"

"Nggak ada apa-apa ma." Aku masukan satu irisan lemon kedalam mug yang sudah berisi seduhan teh hangat. Aku menarik benang teh celup itu dan membuangnya dalam kotak sampah. Sejak dulu aku memang tidak suka dengan rasa teh yang terlalu pekat.

"Atau jangan-jangan kamu sengaja ya matiin handphone karena lagi berantem sama Arka ya?"

Tebakan mama benar, tapi aku tidak mengamini. Karena aku yakin, apa yang ada dikepala mama dan aku berbeda.

Sambil duduk, aku menyesap teh lemon hangat itu pelan-pelan. Dari pada meratapi kekecewaan dikamar seorang diri, yang malah akan membuatku semakin menyedihkan, aku lebih memilih menonton mama membuat kue sambil mendengarkan ocehnnya. Setidaknya itu mampu menghiburku.

"Kamu abis nangis ya?!!"

Mama bertanya dengan intonasi lebih tinggi. Aku sempat melarikan tatapanku sebentar pada mama karena terkejut. Karena sejak tadi mama bicara padaku tanpa melihat padaku, sepertinya ia baru saja menemukan mataku yang sedikit bengap.

"Ini cuma karena aku baru bangun tidur aja sih ma, sama kecapekan kemarin. Ma aku beli gula ya, tuh abis." Aku menunjuk pada tabung berisi gula yang hampir tandas. Aku memilih menghindar lagi dari pembicaraan ini.

"Itu masih banyak, tinggal isi ulang aja."

"Itu bahan buat kue mama."

"Tapi kan sama aja."

"Beda."

Mama adalah orang yang paling ingin tahu jika itu menyangkut aku ataupun kak Dody. Tapi mama juga orang yang paling mudah melupakan rasa ingin tahunya jika pembicaraannya dialihkan. Dan kali ini topik gula berhasil mengalihkan rasa ingin tahunya.

Aku keluar rumah dengan balutan jaket merah. Ini masih cukup pagi untuk membiarkan tubuhku merasakan dingin. Lampu penerangan jalan dan beberapa lampu teras rumah tetangga bahkan masih menyala. Alasan membeli gula benar-benar alasan yang sangat kurang kreatif untuk mengalihkan pembicaraan, tapi aku tak punya pilihan lain.

Derit pagar besi yang kubuka membuat pagi yang sunyi terasa lebih hidup. Jalanan yang masih minim lalu lalang. Aku berjalan beberapa langkah sebelum kemudian berhenti. Sempat ada desir nyeri kecewa yang masih tersisa begitu memperhatikan jeep yang terparkir dibahu jalan tidak jauh dari ku. Jeep yang tidak asing, jeep yang sama yang meninggalkanku semalam. Sempat berpikir mengabaikan dan pergi, tapi aku tak mau ambil resiko jika Arka memilih menemui mama, ketika aku tidak ingin untuk menebar senyum padanya sekarang.

Meski sejujurnya enggan, aku melangkah lebih dekat pada jeep hitam itu. Apa semalaman dia disini? Itu yang aku pikirkan saat body dan kaca mobil itu dipenuhi embun. Aku mengetuk kaca disamping kemudi.

Butuh ketukan beberapa kali sampai kaca mobil diturunkan. Dan siempunya turun begitu melihatku.

"Kamu matiin HP kamu lagi?"

Lupakan kata pembuka, pada akhirnya Arka selalu mengatakan intinya tanpa embel-embel intro.

"Ngapain kamu disini?"

"By... please jangan kayak gini dong. Kamu pikir aku ngapain disini? Kamu nggak bisa dihubungi dari semaleman, dan aku takut kamu ngira yang enggak-enggak, padahal aku juga udah bilang bakal telfon kamu, kan."

"Aku nggak bisa dihubungi terus kamu semaleman disini? Jangan pikir aku terharu, Ka."

"Aku mau jelasin sekarang, yang seharusnya aku lakuin semalem. Aku nggak mau ya By, salah paham kita berlarut-larut."

Meski aku dapat melihat tampang frustasinya, itu tak bisa membuatku membenarkan apa yang dia lakukan padaku semalam. Kalau memang semalam ia jujur untuk pergi dengan Inggrit mungkin aku tidak sekecewa ini, meski tetap saja sakit hati setidaknya aku merasa tidak dibodohi dengan kebohongannya.

"Aku nggak mau ya By hubungan kita mundur, padahal sebelumnya kita baru aja maju satu langkah."

Kamu yang bikin hubungan kita mundur Arka, geramku dalam hati. Aku berusaha menatapnya tanpa emosi, berbanding terbalik dengan tatapan Arka.

"Nggak taulah Ka. Aku juga bingung, aku lagi nggak mau mikir. Atau mungkin aku sebenarnya selama ini memang nggak bisa mikir, jadi dengan gampang kamu bisa bohingin aku." Tanpa sadar aku tertawa kering, membuatku berkali-kali lipat terlihat bodoh.

"By please... aku sama Inggrit nggak ada apa-apa. Memang waktunya aja nggak tepat-"

"Ka, please... kamu bisa hargain aku dulu?" suaraku meninggi. "Aku udah bilang sebelumnya kalau aku lagi nggak mau mikir tentang kamu, tentang kita, tentang apapun. Lebih baik kamu pulang sekarang. Kamu bisa siapin penjelasan kamu nanti saat aku bisa mikir. Karena baik aku atau kamu pasti nggak mau ambil keputusan gegabah dalam keadaan kayak gini, aku yakin kamu tau maksud aku."

Tbc...

Mayday (END)Where stories live. Discover now