30

2.5K 317 29
                                    


Aku nggak ngerti lagi, kenapa semua orang berlomba-lomba untuk menikah? Melepas lajang diwaktu berdekatan? Tidak tau apa, aku disini selalu ketar ketir setiap menerima dan mendengar kabar pernikahan mereka. Bukan karena aku tidak senang, hanya saja itu semua akan semakin membuat aku dibayangi oleh kalimat-kalimat pertanyaan gadis lajang akhir dua puluhan, "kapan nikah?", "kapan nyusul?", "itu si A udah nikah aja, masa kamu yang udah umur segini juga belom ada tanda-tanda kesana," dan kalimat-kalimat serupa yang membuat aku tersudut. Aku pening harus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang yang kelewat ingin tahu tapi tak memberi solusi, seperti kaset rusak.

Undangan pernikahan silih berganti menghampiri, seperti mengejek statusku yang masih stagnan disini-sini saja. Bulan ini saja aku sudah datang ke tiga pernikahan teman dan rekan kerjaku. Itu yang aku hadiri langsung, yang tidak aku hadiri ada banyak dan memilih untuk menitip amplop saja. Musim kawin terasa mengerikan untukku tahun ini. Yaaa, I'm officially twenty-nine years old now. Sempat tak percaya  memang, tapi pagi buta mama menyadarkanku dengan memberikan paket tumpeng yang dibuatnya di atas meja makan, begitu aku bangun tidur.

"Nggak ada kue tar nih Ma? Tiup lilinnya mana?"

"Kayak anak kecil aja tiup lilin segala, udah mau kepala tiga juga."

"Ihh.. jangan diingetin dong!" rengekku.

"Lho... Mama ini berusaha jaga perasaan kamu. Emang mau tiup lilin angka tiga puluh?"

"Kan belom tiga puluh."

"Setahun lagi tiga puluh, kan? Sekarang dibiasain pake tumpeng aja, biar tahun besok-besok nggak lagi tiup lilin tiga puluh, tiga satu, tiga dua, tiga-"

"Mama..."

Mama tertawa melihat air mataku mulai merembes. "Lho kok malah nangis." Ia datang memelukku dengan hangat dan mengelus kepalaku. "Mama selalu doakan Adek. Pokoknya yang terbaik apapun itu. Mungkin karena itu, sekarang kamu belum ketemu jodohnya karena Mama minta yang terbaik, jadi Allah sedang siapkan yang terbaik-Nya buat kamu. Dan yang terbaik itu datangnya lebih lama." Aku mengeratkan pelukanku, air mataku sudah tidak bisa kutahan lagi. Aku terisak dibahu ringkih Mama. "Mama berharap tahun-tahun kedepan kamu sudah ada yang jaga, gantikan mama. Berat lho dek, jaga kamu ini setelah Papa nggak ada. Cinta dan sayang Mama nggak akan pernah habis buat kakak sama adek. Mama berdoa adek, dapet cinta dan sayang lebih lagi dari orang lain. Orang yang memang disiapkan untuk masa depan Adek. Kaya Tamara buat Kakak."

Vibes pulang kerja bisa membawa hal melankolis, sampai kalimat-kalimat Mama pagi tadi masih terbawa angin di telingaku. Batinku juga masih bergumam 'amin', mengamini setiap doa Mama. Baru ulang tahun ini rasanya mama mengutarakan doa nya secara spesifik pada jodohku yang tak kunjung datang. Aku tau, mau tidak mau pasti mama juga sama denganku, selentingan-seleintingan tetangga pasti kerap datang. Mama pasti juga kadang kesulitan menjawab. Meski hidup di kota, tidak menjamin semua pemikiran orang sama terbukanya.

Kenapa jadi makin pesimis sih? Kemana hilangnya Deby yang tak peduli kata orang? Ingat!! Menikah itu bukan perkara siapa yang cepat, tapi siapa yang siap!

Setelah rebahan sebentar di kasur, aku bangkit. Merenggangkan tubuh dengan nikmat, sampai mataku tertuju pada satu undangan pernikahan yang terlipat rapih di atas nakas. Satu undangan yang belum masuk tong sampah, karena belum aku hadiri. Aku sudah memutuskan untuk tidak ikut hadir. Apa salahnya tidak menghadiri satu undangan pernikahan saja? Aku sudah melakukannya empat kali bulan ini, tambah satu lagi tidak masalah, kan?

Aku segera berdiri dan keluar mencari ipar Tamara tercinta. Kudapati dia sedang duduk bersila di karpet, menghias pesanan kue-kue dengan cantik. Maklum, ini bulannya orang menikah, jadilah Mama kebanjiran orderan kue hantaran.

Mayday (END)Where stories live. Discover now