20

3.4K 389 27
                                    


Hai  ciwi2 ku... dan kaum minoritas yg mungkin tersesat disini. Aku mau bilang, mulai dari part ini aku mau pake sudut pandang Deby. Why? Mungkin karena aku lebih suka ambil sudut pandang ini sih wkwkwk. Karena aku perempuan, jadi lebih gampang untuk menggambarkan yang dilihat Deby, dengan persepsi perempuan. So, mungkin yg nggak nyaman  aku minta maaf T_T

Happy reading....

Aku tak bisa menolak tumpangan Radja, saat lelaki itu menawarkan diri jadi sopir dalam cuaca hujan seperti ini. Karena jadi penumpang gratisan pula, aku juga tidak bisa berkata nggak ketika si empunya mobil ingin menyeruput kopi. Entah karena alasan apa, lelaki itu lebih memilih datang di kedai yang terletak didalam mall. Padahal jika alasan kepraktisan, cafe pinggir jalan juga tidak terlalu buruk.

"Lo baik-baik aja, Ja?" Aku menatap Rajda ragu. Setelah mendengar perihal batalnya pertunangannya dengan Intan seminggu yang lalu, lelaki itu terlihat tak berubah. Aku khawatir, karena lelaki cenderung suka menyimpan rasa sakitnya sendiri.

Sekelebat sinar di mata Radja berubah sesaat, kemudian ia meringis. "Punya adek keran bocor memang susah ya. Pasti Tamara yang cerita, kan?" Ia tertawa sebelum akhirnya jeda sesaat diantara kami. "Tatapan lo itu bikin gue terlihat menyedihkan banget, By. Hal kayak gini udah biasa, kan? Dua orang untuk memilih berpisah dan saling menyudahi kebersamaan."

"Tapi hubungan lo dan Intan itu bukan lagi jenjang pacaran untuk putus sesuka hati. Padahal kalian hanya butuh satu langkah untuk jadi suami istri loh. Dan jangan lupakan berapa lama kalian pacaran. Kalian udah benar-benar rundingan?"

"Udah, finaly, ini hasilnya. Kalau dipikir, selama ini kami memang nggak cocok. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sampai nggak sadar  hubungan kami selama ini nggak sehat. Kita tunangan juga atas dasar karena umur, bukan atas kesiapan. Dan gue cuma bisa berpikir, gue dan Intan emang
nggak jodoh."

Aku tak bisa berkata-kata. Rasa untuk Radja memang sudah pudar. Affair itu juga sudah hambar. Tapi jika diingat bagaimana aku mati-matian menekan perasaanku dulu sampai bertahun-tahun, ini seperti menyaksikan pengorbanan yang sia-sia. Mereka memang tidak tahu, kalau ada aku yang jadi bayang ini merasa kecewa. Seperti ingin berkata, untuk apa aku sakit hati bertahun-tahun jika mereka harus berakhir? 

"Jadi selama ini lo nggak cinta sama Intan?"

"Bukan gitu juga." Radja menghela nafas. "Hubungan itu nggak mungkin kan, di bangun tanpa embel-embel cinta? Jelaslah gue cinta sama Intan. Jadi, bohong kalau gue bener-bener baik-baik aja setelah gue dan Intan berakhir. Lo sendiri tahu Intan, dia butuh lebih dari gue. Keluarga Intan masih kurang ikhlas untuk gue jadi pendampingnya. Karena prinsip mereka, lelaki harus punya penghasilan lebih besar dari perempuan. Sedangkan gue nggak bisa memuaskan kriteria mereka. Gue cuma arsitek di biro kecil, jauh dengan jabatan Intan di kantornya."

Aku tak bisa memberikan banyak kata penghibur saat gurat sedih yang disembunyikan Radja kian hidup diwajahnya. Aku memeluk cangkir kopiku dengan kedua telapak tangan. Hangat yang merayap, sedikit membantuku untuk mengahalau udara dari pendingin ruangan. "Intan tau itu? Tentang tuntutan keluarganya?"

Radja sekali lagi menggeleng pelan. Aku tak terkejut jika dia melakukan itu. Radja selalu menyembunyikan keluhnya pada orang-orang yang disayangi. Beban ia genggam sendiri seolah orang lain tidak akan tahu.

"Kalian kayaknya perlu bicara lagi deh Ja. Belum tentu Intan pro dengan keluarganya." Untuk alasan memberi kekuatan, aku mengusap pelan tangan Radja di atas meja.

Ia tersenyum menatapku seraya ikut menumpukan tangan kanannya diatas tanganku yang masih mengusap tangan kirinya. "Makasih ya. Cerita sama lo bisa bikin lega, nggak kayak Tamara yang malah nyukur-nyukurin. Dia itu adek tapi nggak ada akhlak sama abangnya."

Mayday (END)Where stories live. Discover now